Sesekali lampu jalan menyorot hujan; cukup untuk membuatku mencintainya malam ini. Lihatlah, cahaya keemasan tegak membimbing kemana baiknya hujan-hujan itu berakhir. Ke selokan, tanah-tanah landai, atau membeku di jendela kamarmu.
Andai ayahku tidak merokok di teras saat ini, aku pasti sudah menengadah memeluk hujan. Sebab bagiku memeluk hujankah atau memelukmu sama nilainya; sama-sama basah dan berakhir sakit.
"Jam 10" ayahku bangkit dari duduk "ayo masuk" aku mengangguk, dan tetap duduk. Kini aku sendiri. Ini malam sepi sekali, tapi aku tak pernah mampu sendiri; kau selalu jelma banyak di benak.
Barangkali hujan akan lama reda malam ini. Lebih lama dari malam-malam lain. Ini musim baik, akan banyak orang yang pilek. Pilek, kau pernah membenci hujan karena pilek bukan? Ya, aku ingat. Hari itu kita duduk berdua menikmati hujan entah untuk yang keberapa. Kau murung waktu itu. Sering mengambil batu dan melempar genangan. Kutanya kau diam saja. Aku diam. Aku tahu kau selalu takut aku diam. Aku benci hujan katamu sambil menunjukkan hidung. Aku tertawa dan memanggilmu "Manja" mulai itu.
Manja, kau sedang apa? Apa kau mencari-cari batu di kamarmu? Atau menunggu ayahmu yang mencintai ikan itu tidur dan mengambil kerikil akuariumnya? Berhentilah, Manja. Hujan tidak jahat. Kau tidak perlu membenci hujan. Apa adil membenci diri sendiri?
Manja, ini malam akan dingin, jangan berselimut. Kau tahu, tak selamanya hangat baik; kau perlu dingin untuk tahu. Cintailah hujan apa adanya, persis seperti kau membencinya saat ini. Kau hanya perlu memeluk, bukan mengamuk. Kau hanya perlu merindu bukan merundung. Terlihat seperti permainan kata-kata memang, tapi kata-kata tidak untuk main-main dan selalu berbahaya.
Manja, jangan lagi benci hujan atau tidak ada lagi dialog. Kata-kata tinggal bisu di kota-kota kemarau. Bila hujan kata-kata mekar membentuk klausa kecil-kecilan sebagai payung pejalan kaki. Sebabnya sulit bagiku untuk sekedar mengetuk pintumu pagi-pagi dan menganggap semuanya baik-baik saja. Sulit. Barangkali marahmu hari itu membekas di hati tiap hujan, hingga tak ada lagi kata-kata untukmu. Yah, mungkin saat kita sama-sama menunggu bus sekolah, hujan turun. Itu tentu waktu paling tepat menarik kata-katamu kemarin dan meminta maaf kepada hujan. Kata-katanya harus seperti ini nanti; Hujan, demamnya bukan salahmu, maafkan aku
"Bulan masuk" suara ayahku jauh "istirahat, kau masih demam"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pemeluk Hujan
Teen Fiction[SEDANG DALAM PROSES LANJUTAN] Barangkali sama dengan kisah-kisah mendung lainnya, tapi apa yang salah dengan hujan? . "hujan datanglah kapan-kapan, kasihani keringku yang sering" Kata Hujan sebelum pergi, dan berjanji tidak kembali. . Kisah orang-o...