Guntur

162 7 0
                                    

Ayahku terlihat tidak sama semenjak kanker ibuku tumbuh ganas dan tak tertolong. Hari itu bertepatan di ulang tahunku yang delapan. Alasan kenapa aku membenci lilin dan kue ulang tahun.

Dulu ayahku tidak banyak ke dapur, tidak pandai membuat sarapan, dan tidak suka menyisir rambutku. Satu-satunya yang masih sama adalah kegiatan antar-jemput. Namun ini hari aku memaksa naik bus saja. Ayah sudah tidak tidur menjaga demamku-- sesuatu yang tak pernah juga.
"Langsung pulang" teriak ayahku di ambang pintu "nanti ayah jemput"
"Siap, bos" kataku berbalik dan memberi hormat jahil kepadanya.

Hari ini cerah dan sedikit kabur. Aku harus ekstra hati-hati berjalan di jalan setapak menuju pemberhentian bus. Sisa hujan biasanya nakal dan hitam; kalau tidak hati-hati, di sekolah aku bisa jadi bahan tertawaan jika di rokku menempel bercak-bercak hitam. Aku sudah dua hari cuti, aku harus hati-hati.

Di jalan setapak ini, lampu jalan masih menyala. Aku senang lampu jalan tetap menyala. Aku merasa diperhatikan. Untuk seorang anak yang tidak berorangtua lengkap, perhatian adalah segalanya. Ada pada sisi hati tiap anak sepertiku yang menginginkan pelukan orangtua yang satunya lagi, dan untuk menyiasati keinginan itu perlu perhatian baru. Ya, sesederhana lampu jalan ini.

Kau tahu, ada satu kemiripan antara kau dan lampu jalan; sama-sama ingin memerhatikanku lebih jauh, tapi jalan saja tidak mampu. Ya, ini hari kita akan bertemu. Setidaknya aku sudah belajar bagaimana untuk tetap diam meski disodori lolipop; dari rumah aku sudah kunyah banyak, jadi jika cara membujuk itu kau pakai; tidak akan mempan. Aku juga sudah baca banyak buku-buku cinta, jadi kalau kau rayu, tidak ada alasan untuk meleleh. Aku siap ke sekolah!

Bus pagi ini lenggang. Barangkali anak-anak sekolah pada demam atau pilek dan memilih mengantar surat saja. Aku duduk tepat di belakang supir dekat jendela. Tempat favorit mendengar musik, sebab jauh dari berisik. Bus akan sampai di sekolah setelah berputar menjemput siswa-siswa lain. Setidak-tidaknya memakan 20 menit untuk sampai.

Aku memakai earphone dan meletak tas di bangku satunya lagi. Kepala kusenderkan jauh-jauh setelah kuputar acak lagu-lagu indie lokal. Kupejamkan mata. Musik mengalun. Seketika kurasakan langkah hujan dari belakang. Semakin dekat. Tubuh kusiap-siapkan untuk dipeluk. Kubuka mata tak ada--persis kehadiranmu. Agaknya lagu-lagu Banda Neira gemar membawa anganku kemana-mana.

Ban bus menggigit keras pekarangan sekolah. Setelah guncangan dan ketawa supir, aku turun. Sekolah tampak begini-begini saja; tingkat tiga, dan terlihat resah. Aku melangkah ke kelas masih dengan earphone. Dalam berjalan aku bukan tioe yang memerhatikan sekitar, tapi di koridor di jam ini terbilang sepi.

Telingaku masih tersumbat earphone yang menggantung dari saku baju. Seketika sayup-sayup terdengar langkah cepat dari belakang. Semakin cepat. Semakin dekat. Persis suara di bus tadi. Aku melangkah saja. Barangkali ada pada hatiku sesuatu yang mudah terbawa lagu. Tapi sial! Dari belakang sesuatu berat menabrakku.
"Ma.. maaf" kata seorang yang terlihat asing "maaf" katanya lagi dan langsung berlari dengan terbahak-bahak, setelahnya tiga empat orang menyusul mengejarnya sambil berteriak-teriak geram "Guntur!"

Dalam setengah berdiri, aku terheran-heran. Cepat-cepat ke pinggir kalau-kalau ada orang aneh lain yang berlari. Kusenderkan bahu kanan yang tiba-tiba nyeri ke dinding. 

Dalam pergulatan linu di bahu, aku tidak menemukan HP di saku manapun. Setelah melihat ke tempat aku tertabrak tadi, aku sedih. HP-ku terlihat payah. Semuanya terlihat puing-puing. Aku duduk sejenak seraya mengurut bahu yang semakin berat dan linu. Kulihat HP-ku, kulihat puing-puingnya. Yah, aku berpasrah saja. Kukutip puing demi puing, sambil terus mengingat wajah si pembuat ulah. "Guntur!" Ya, aku hanya perlu mencari tahu siapa Guntur dan yang mana orangnya. Aku tak mau ayahku marah saat kulaporkan ini. Kemarin aku baru dibelikan HP, sebab yang lama mati terendam hujan. Aku harus mencari lelaki itu!

Pemeluk HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang