Hujan Jatuh Sesakit Apa?

150 6 0
                                    

Hujan,
jatuh sesakit apa ?

aku pernah jatuh dari sepeda, pohon, kasur
Dan aku hanya tidur

Hujan,
Jatuh sesakit apa?
Selokan tidak merah,
Kecipak gelatik tidak ramah

Hujan,
Jatuh sesakit apa?
Kemarin, di bulan-bulan kemarau rumput dan mawar menantimu
Kau hadir dimusuh

Hujan,
Jatuh sesakit apa?
Kau kesedihan paling berbahagia
Sebelum jatuh, melayang-layang
Senyum-senyum sendiri membentuk pelangi

Hujan,
Jatuh sesakit apa?
Aku pernah jatuh dari lantai cinta
Tinggi dan berbahaya
Aku pikir sapa senyumnya baik dan menangkap
Aku jatuh, dan ...
Patah

Hujan,
Jatuh sesakit apa?

Tanganku masih meraih-raih hujan dari balkon sekolah saat puisi itu kubisikkan. Barangkali memang aku tak paham, tapi ada hujannya... dan aku mencintai orang yang memanggilnya banyak-banyak. Puisi ini kutemukan di koran Minggu ayahku. Sial, ayah! Agaknya ayah berkali-kali menelfon dan sudah kuyup di depan pagar. Aku harus cepat, jangan sampai ayah demam.

Aku berlari, menuruni dua tangga sekali turun. Di  ujung sekolah, aku ragu. Melangkah atau menunggu. Kulihat ke depan, kupegang lagi puing HP-ku. 

Hujan dan jalanan menggenang. Kupikir ayah tidak menjemput,  satpam tampak duduk dan tidak terlihat mencari-cari seseorang. Aku tenang sejenak. Kupegang lagi puing HP-ku, resah lagi. Dalam keresahan, mataku mencari-cari. Entah siapa, tapi ada pada hatiku mencari yang menghujani api masalah ini.

Manja entah kemana. Tidak terlihat di lantai manapun. Mataku mencari-carinya, tapi hatiku tidak. Entah bagaimana simpatiku bertambah hilang padanya. Kupikir aku akan melihatnya menengadah ke hujan dan menangis meminta maaf di sana. Tapi, dia tak terlihat. Mungkin ajakannya sekedar kata-kata yang gula-gula.

Aku bingung. Pergi, atau tetap di sini. Kulihat kanan, kulihat genangan. Aku memilih naik ke lantai teratas sekolah, ke kelas Guntur. Berharap Guntur di sana dan langsung tegas meminta ganti rugi tanpa menatap mata hazelnya!

Kunaiki tangga pelan-pelan. Kubayangi hari ini adalah tangga; ada tanjakkan, ada turunan.. semua ada akhir. Aku percaya masalah ini juga, walaupun tidak selesai, setidaknya berakhir.

"Jangan benci hujan..." kudengar gumam yang kian jelas saat dua langkah lagi sampai ke lantai teratas "Tak ada yang setabah hujan... dan guntur! Tak ada guntur yang tak hujan" kulihat Guntur di balkon depan kelasnya meraih-raih tempias hujan.

Seketika langkahku pelan dan ramah. Kulihat Guntur melihatku, aku tak peduli.
"Kupikir" kata Guntur menggaruk kepalanya "aku sudah minta maaf"
"Jangan benci hujan" aku berhenti sekitar dua langkah di hadapannya "aku tak pernah dengar guntur meminta maaf kepada hujan"
"Maksudmu?" Kepalanya semakin keras digaruk
"Sebabnya tak ada yang setabah hujan" entah bagaimana mataku menatap matanya " dan tak ada guntur yang tak hujan, bukan?"
"Aku tak mengerti"
"HP-ku jatuh dan rusak" kataku memulai "sebab guntur sering lupa kepada apa yang telah diganggunya, aku ingatkan kembali. Tadi, wanita yang kau tabrak di koridor, aku. HP dan bahuku menjadi korban..."
"Siapa namamu?" Potongnya
"Bulan"
"Bulan, akan kuganti HP-mu"
"Dengan?"
"Syarat" katanya cepat "setelah itu HP-mu kuganti dengan yang baru"
"Syarat?" Mataku marah "ini kewajibanmu!"
"Jika sikapmu seperti ini, berhenti mencintai hujan; Tak ada yang setabah hujan, kan?"
Aku diam. Lebih tepatnya kehabisan kata-kata. Aku mengangguk pelan.

Barangkali dingin membawa keheningan. Dan dalam keheningan yang sama, kuingat-ingat mataku sering menikmati matanya. Kulihat dirinya, kulihat hujan.

Hujan, jatuh sesakit apa? Seketika benakku penuh bait ini.

Pemeluk HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang