Pluviophile

53 2 0
                                    

Tak ada keberuntungan sehebat lupanya seorang ayah mengomeli anaknya yang telat pulang. Tak ada. Betapa kupelan-pelankan langkahku ketika persis di hadapan ayah yang sibuk membaca koran. Kerja buruk pelempar koran berupa keberuntunganku. Barangkali ayah sudah berapa kali menyerah mencari koran hari ini sampai ditemukannya entah di mana. Lain kali hati-hatilah melempar korannya, lain kali tetaplah seperti ini jika aku telat pulang aku tersenyum membisikkannya.

Aku tidak mau buru-buru masuk kamar. Seperti ada padaku keinginan menceritakan segala yang terjadi padaku belakangan ini. Tentang Manja, Guntur, atau Pluviophile. Maka kupilih kursi malas milik ibuku dulu yang entah kapan dipindahkan ayah di ruang TV. Kuceritakan segalanya tanpa bicara. Kusandarkan sedalam mungkin tubuh bauku di sisi kanan, membayangkan tubuh ibu memelukku. Aku tertawa malu sebab telah kubayangkan ibu curiga kalau aku menaruh hati kepada Guntur. Aku tertawa. Bahagia. Kurasakan tangan ibu menata rambutku. Kurasakan kecupan itu. Kasih sayang seorang ibu.

"Emang ada apa di sekolah?" Ayah melipat koran dan memukul pelan ke bahuku "terlambat terus pulangnya"
"ada guru, murid, kepala sekolah, satpam, Yah" kuberikan wajah jelekku ke arah ayah. Ayah mengacak rambutku yang baru saja dirapikan ibu tadi. Oh, aku diantara harapan dan kenyataan.
"Mandilah" ayah melangkah ke dapur "kau tak boleh bau dan menangis di kursi ibumu". Cepat-cepat kulap air mata. Sial, air mata terus saja membasahi diri yang kering kasih sayang ibu ini. Sial.

Aku mandi lebih lama dari biasanya. Kuhidupkan keran, kunyalan shower, kubiarkan segalanya menulikan dunia luar, dunia yang takkan pernah melihat tangisku. Ini bukan kali pertama aku butuh ibu. Biasanya aku duduk di sudut, di atas sabun-sabun, paling jauh dari pintu. Tempat paling aman untuk meraung. Juga menangisi diri sendiri.

Air keran, juga shower menabrak keramik, alir-alirnya jatuh ke lubang pembuangan. Kubayangkan gemericik-gemericik bertemunya air dan keramik itu satu-satunya yang paling baik menjaga rapuh seseorang. Kutangisi kerinduan ini. Sebagaimana menziarahi seseorang, di samping tangis kubawa doa. Mestinya memang tak lazim menyebut-nyebut Tuhan di kamar mandi, tapi kuyakini Tuhan lebih senang doanya orang-orang mandi ketimbang orang yang tidak berdoa.

Aku bangkit. Sudah cukup lama aku di sini sampai ayah beberapa kali mengetuk menanyaiku apakah baik-baik saja. Kubasuh badan dan yang terjangkau tangan. Muka dijatuhi air kecil-kecil. Lama kutengadahkan wajahku ke arah shower lama juga aku sadar betapa air mataku bersembunyi di antara air yang banyak.

Setelah mandi aku langsung ke kamar. Entah perasaanku saja kamar kini tampak lebih sempit. Cat-cat lebih pucat. Ruangan yang mengingatkanku pada satu tempat; ruangan Pluviophile. Bagaimana jerjak kami benar-benar tampak mirip. Lemari belajar tampak seperti meja yang di atasnya ceret dan gelas. Ibu tiba-tiba tak terlalu jelas. Padahal, cepat-cepat menyeka air mata di kamar mandi untuk melanjutkannya di kamar sendiri.

Dan lantas aku teringat Guntur. Oh, Guntur! Dia berpesan agar aku memeriksa HP ketika selesai beres-beres. Buru-buru kucari HP dari tas. Benar saja, ada pesan.

Form Guntur

Kau ingin HP itu dikembalikan atau tetap menjalankan syarat?

Tak lama kubaca pesan, Guntur menelfon.
"Hallo" tak dijawab

"Hujan" Kata Guntur sepele. Kini aku yang diam kebingungan.

"Kau lambat belajar" Guntur menguatkan suaranya "Hujani kami di mimpi"

"Hujan" Guntur mengulang

"Apa aku haru.."

"Hujan" Guntur menyela

"Hujani kami di mimpi" jawabku malas. Gelak senang terdengar dari sebrang.

"Bagaimana, kau belum menjawab pesanku" Guntur memulai setelah hening tawanya

"Sebaiknya aku kembalikan saja HP-mu" Kataku

"Kau lebih tertarik dengan kemarahan ayahmu?"

"Aku tidak suka diancam" kuseram-seramkan suaraku

"Aku hanya bertanya"

"Pembunuh juga sering bertanya"

"Baik" Guntur batuk " apa kau mau tetap mengikuti syarat?"

"Tergantung"

"Terdengar seperti kau ingin memberikanku syarat"

"Mungkin"

"Apa itu?"

"HP ini tetap jadi milikku"

"wanita!" Guntur terdengar mengoceh sebelum tut panjang mengakhiri obrolan.

Aku senang bukan main bisa membuatnya takut. Guntur yang malang. Seharunya dia lihat seberapa tertariknya aku dengan Pluviophile. Andai dia suruh memilih, tentu kupilih Pluviophile. Aku terlalnjur penasaran dengan "Hujan". Aku terlanjur tertarik dengan yang ada di dalamnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 04, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pemeluk HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang