Di teras ayah memegang gelas dan koran pagi yang agaknya terlempar jauh dan baru ditemukan. Sambil berjalan ke sana aku menghela nafas dan membisikkan selamat berulang-ulang. Ayah tidak akan cerwet jika ada koran dan teh. Dia hanya akan berdehem ketika mendengar langkah pulangku.
Di kamar kuhempas badan ke kasur. Membiarkan badanku menerima hak istirahatnya. Seingatku tidak ada hal yang terlalu melelahkan hari ini. Namun ada pada kelelahan yang mungkin nanti akan susul menyusul memeluk waktu senggangku.
Setelah berbaring malas, aku meraih tas. Tanganku meraih HP yang dipinjamkan Guntur. Kukotak-katik. Ada yang aneh dengan sistemnya. Di sana tertulis perintah masukkan satu nomor. Aku tak mengerti. Aku teringat pesan Guntur perihal hanya bisa menerima pesan dari dua nomer tersebut. Aku teringat Manja. Keburu sadar ayah lebih penting. Buru-buru kumasukkan nomor ayah. Layar berganti ke sebuah wallpaper biru, serupa embun yang jatuh menetes dari balik layar.
Satu Pesan
Besok bawa baju ganti, kau akan menemaniku ke suatu tempat.
Apa-apaan! Percaya diri anak ini tinggi sekali. Dia pikir aku akan memasukkan pakaian ke tas dan pergi entah kemana usai pulang sekolah. Aku masih bisa bilang tidak bukan? Atau setidaknya bertanyalah dengan sopan! Kupukul kesal bantal dan apa saja yang lembut di atas kasur. Saat memukul itu pula aku sadar bibirku terangkat sendiri. Aku tersenyum? Apa-apaan!
Kusenderkan badan ke sudut kasur. Mataku menatap pintu yang terbuka sedikit. Tiba-tiba benakku liar berharap seorang lelaki mengetuk dan meminta izin menatapku dari celah pintu dengan mata hazelnya. Kugelengkan kepala. Kupindahkan pandang ke lemari pakaian. Benakku lagi berlari kepada pakain dress indah ibu yang akan kukenakan saat Guntur menjemput. Kugelengkan kepala lebih keras. Aku memilih tidak memandang apa-apa. Aku menutup mata. Sial! Guntur jelma banyak di benak. Aku menghela, memejam mata lebih keras.
Bahu kananku bergetar. Dengan mata kabur, buru-buru kuraba HP yang telah lama terhimpit di sana.
Satu Pesan
Aku sudah di depan rumahmu
Cepat-cepat kusibakkan tirai jendela kamarku. Guntur benar di depan pagar! Dan sudah pagi! Aku bergegas cepat. Barangkali usahaku menghilangkan Guntur dari benak selelah itu. Saat bersiap aku memikirkan lagi, apa ada pesan Guntur yang mengatakan dia akan menjemput? Sudahlah, bukankah dia memang begitu. Tapi, dia hebat juga. Manja, yang sudah berapa lama mengenalku tidak pernah berani menjemput sedekat itu.
06.20 aku selesai. Tidak ada ayah di teras. Kusempatkan ke kamarnya. Ayah masih nyenyak. Kubenarkan selimutnya, kukecup keningnya. Aku pun bergegas.
"30 menit nona pemalas" celetuknya menyambutku "30 menit"
"Siapa yang menyuruhmu menjemputku?"
"Siapa yang menjemput?"
Aku mengernyitkan dahi
"Aku cuma mau mengingatkan pakainmu"
"Pakaian apa?" Aku berpura lupa
"Kau membaca pesanku kan?"
"Pesan yang mana?"
"Sekarang kembalilah, ambil pakaianmu"
"Kalau aku tidak ma.."
"Itu syarat!" Sambungnya cepatAku kembali. Sampai di kamar, aku langsung ke tempat Guntur. Pakaiannya sudah kusiapkan sebelum aku ketiduran.
"Sudah?" Angguknya dari jauh
"Menurutmu?"
"Oke, sampai jumpa nanti"
"Ehh!" Kejutku sebelum Guntur menyalakan motor
"Kenapa?"
"Kau benar-benar hanya ingin mengingatkan pakaian?" Tanyaku memancing
"Kau benar-benar ingin pergi bersamaku?" Katanya membuka kaca helmnya "naiklah, jangan sia-siakan kesempatan ini"
Aku betingkah aneh. Ada pada diriku gejolak gerang dan riang. Di satu sisi ini penghinaan, satunya lagi aku tidak peduli. Aku melangkah ketus. Kutatap dulu wajahnya yang tertutup helm; menyampaikan pesan kalau ini desakkan takut terlambat. Ia mengangguk dan memancarkan senyum kemenangan dari dalam helmnya. Aku naik. Ia mengegas tiba-tiba motornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pemeluk Hujan
Ficção Adolescente[SEDANG DALAM PROSES LANJUTAN] Barangkali sama dengan kisah-kisah mendung lainnya, tapi apa yang salah dengan hujan? . "hujan datanglah kapan-kapan, kasihani keringku yang sering" Kata Hujan sebelum pergi, dan berjanji tidak kembali. . Kisah orang-o...