Syarat

94 5 0
                                    

Hari itu aku belum mau pulang. Jelasnya aku belum siap. Mengahadapi ayah adalah bagian tersulit. Selain gampang resah, aku gampang tenang; barangkali hujan memayungi kepayahan.

Kulihat hujan begitu gembira dan tak peduli akan pecah dimana tubuhnya. Persis lelaki aneh di sebelahku. Guntur masih meraih-raih hujan dari balkon lantai empat sekolah. Tak jarang kakinya dinaikan ke balkon dan bahagia ketika air yang ditampungnya dibasuh ke wajah sendiri. Aneh.

"Kau terlihat membenci hujan" Guntur menyipratkan hujan yang ditampungnya ke mukaku
"Ehh!" Aku sadar ini jebakan "aku bukan anak-anak lagi, cintaku pada hujan bukan sekedar menangkap-nangkap dan membasuh hujan ke muka sendiri"
"Ohiya?" Dia melirik jahil " kalau begitu aku paling berbahagia"
"Haa?" Dahiku terasa terangkat
"Satu-satunya yg tulus mencintai hanya anak-anak, itu artinya aku mencintai hujan dengan tulus" Aku diam lagi kali ini.

Jedah menjadi udara yang masuk ke pori-pori kami. Tidak ada lagi cipratan air. Apa maksudmu tidak ada lagi cipratan air, Bulan! Batinku tiba-tiba membuat takut. Bagaimana aku bisa mengharapkan lelaki aneh ini sekali lagi mencipratkan hujan yang ditampungnya. Ahh! Apa ini! Kenapa mata hazelnya membuatku tagih meliriknya.

"Kau belum mengatakan syaratnya" kataku cepat mengalihkan bagian dalam diriku
"Aku menunggu kau mengatakan ini!" Kini ia mengusap kedua tangannya di celana "beberapa minggu ke depan kau akan sering bersamaku, mau tidak mau itu syarat pertama"
"Maksudmu?" Suaraku marah, hatiku bahagia
"Kalau tidak mau, aku tinggal jadi guntur yang pelupa yang mengganggu yang ..."
"Baik!" Potongku "baik, tapi beri tahu itu untuk apa"
"Kau akan tahu, Bulan" katanya "ngomong-ngomong namamu indah sekali, Bulan" Aku berang, hatiku senang.
"Lalu bagaimana hari ini? Apa yang harus aku bilang kepada ayahku?"
"Ini" Guntur menyodorkan ponsel yang kuingat mahal"bawa kemari puing Hp-mu"
"Untukku?" Ceplosku
"Tentu" kini ia berbalik "Jika kau berhasil menyelesaikan syarat-syaratnya"
Aku melihat-lihat HP yang kupegang dan ingin cepat-cepat pulang.
"Dan" kata Guntur yang sudah di tangga "itu sudah kuatur berkontak dua, nomorku sudah masuk di sana, satu lagi kau bisa pilih siapa, selain itu semua panggilan atau apapun itu tidak akan pernah masuk atau terkirim"

Aku bingung. Tapi aku tidak lagi resah. Aku ingin pulang. Aku ingin melihat ayah. Aku ingin menunggu pesan Guntur.

Pemeluk HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang