Revisi: Bagian 4

16 3 0
                                    

'Nnt sianq Q k 12mh Qm.'
-11.30 WIB-

Duh.

Fentika pusing baca pesan kali ini. Pengirimnya Dari unknown, apa penguntit yang kemarin ya? Tapi gimana bisa? Ya bisa lah, mungkin aja dia orang kaya, punya akses buat mencari sesuatu yang ngeluarin uang banyak alias orang kaya alias orang berada... Ya apalah itu gue pusing mikirnya.

Pesan ganjil itu gue tinggalkan. Kembali lagi kegiatan di dunia nyata yang minta di perhatiin. "Itu nya di iket, cebol." Brian nunjuk tali bagian kanan. Gue menurut walau dogkol.

"Si Revan kemana sih?" Brian mengangkat bahunya tanda ga tau. Sejak kemarin lelaki itu jadi jarang muncul di peradaban, alias ga keliatan oleh kedua mata cantik gue. Brian sendiri kayanya biasa aja, kenapa gue uring-uringan ya?

Brian menarik tali terakhir, kadang meringis karena ga kuat. Gue meliriknya tanpa minat, Brian balas melirik penuh permintaan seolah berkata 'bantu-gue-dongo!' tapi karena kata terakhir yang menyakiti harga diri jadi gue urung buat bantu. Bodo amat. Minta ae bantuan ama engkong lo!

"Ah elah. Ga berguna banget lo jadi manusia." umpat Brian. Gue mendelik sambil menendang pantatnya dan berlalu pergi dari taman belakang.

Dari dapur gue bisa lihat Kak Fand sedang mengajar kelas teakwondo, rata-rata anak kecil semua tapi tenaganya ga bisa selow. Saat sedang asik minum, suara bell tanpa henti karena ga dapat jawaban terdengar. "Bunbun, ada tamu, tuh." teriak gue. Kamar bunda dan ayah tepat di atas kepala gue jadi mustahil kalo mereka ga dengar, kecuali kalo ada kegiatan nista.

"Tamu bunda?" sahutnya bertanya tanpa meninggalkan volume suara yang meninggi.

"Ga tau."

"Buka pintunya, Fentika!" yahhh kalo nyonya sudah berkata, pembantu bisa apa? Dengan malas gue berjalan sambil minum menuju pintu, baju gombrong dan celana boxer sedengkul dekil ga buat gue malu buat terima tamu dari kalangan menengah sampai seatas monas kecuali saat cowok hot kaya Luke Hemmings, Cameron Dallas, Shawn Mendes, atau cowok cute kaya Callum Hood --- itu baru di namakan masalah besar.

"Iya, tunggu napa. Ga sabar amat." gerutu gue.

Saat pintu terbuka lebar, wajah gadis manis yang sukses buat gue memutar bola mata seketika menyambut. "Hai, Fe." sambutnya kelewat bahagia. Gue mengernyit, berpura ga kenal karena amnesia beberapa hari yang lalu. "Siapa yah?" tanya gue nyebelin.

Senyum Annesa berganti menjadi cemberut. Gadis itu mencubit pinggang gue gemas, "Muka kamu kayak bahan boker."

Ucet daaa nih bocah. Baru ketemu lagi udah berani nyela. Kasih cabe-cabean juga nih biar di ajarin selfie monyong berharap bakal jadi Kylie Jenner, atau kalo boleh ajarin ngebacot biar berantem nanti ga cuma jenggut-jenggutan. Ayolah, Fe, jangan ngelantur mulu. Capek gue jadi gorilla lo.

"Ga ada recehan. Balik sono."

Bilang aja gue kejam atau ga peka. Annesa masuk tanpa gue suruh dan gue hanya bisa mendengus jenuh. Beberapa langkah kemudian dia berbalik, menatap gue sambil nyengir tanpa dosa. "Maaf ya, ga sopan banget. Abis kalo ga gini aku ga bakal bisa deket sama kamu. Harus ada paksaan." katanya membela diri.

Gue berjalan melewatinya sambil naikkan jari tengah tinggi-tinggi. Gue memutuskan untuk bawa Annesa kedalam kamar, sebenarnya males bawa orang baru ke area pribadi. Selain keluarga, Brian dan Revan, ga ada satu orang pun yang masuk ke dalam kamar. Bukan karena jorok -well, mungkin bisa jadi cuma males mengakui.- tapi karena gue emang ga punya 'Orang Dekat' selain mereka.

Dan sekarang di tambah Annesa.

"Anjing di larang masuk... Fe, emang pernah ada anjing bisa baca?" gue hampir tertawa mendengarnya. Kalo dulu Brian bakal sambit gue sama botol, Revan bakal ngedumel karena ga mau di samain anjing, sekarang Annesa yang ketahuan begonya.

Fentika LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang