Gue ga pernah berfikir kalo suatu hari nanti jodoh gue akan di tentukan orang. Gue manatap malas gadis di depan gue yang kini khidmat memakan kentang goreng milik gue.
Anesa namanya, cantik sih iya tapi kayanya rada ngebosenin gitu, ahh buat di jadiin temen bukan tipe gue lah ya. Di lihat dari sabang, Anesa ga ada sama sekali unsur mencurigakan layaknya peramal di luar sana, dia gadis normal tapi kalo di lihat makin dekat...
"Ada tiga orang yang bakal keluar-masuk ke kehidupan kamu, Fe"
Freak! That's right.
Gue menyahut ogah-ogahan, "Jodoh gue semua, tuh?"
Anesa mendelik sambil menggelengkan kepalanya, "Maruk banget kamu, cowo ganteng semua nih masalahnya. Kalo tiga-tiganya jadi jodoh kamu semua, stock cowo ganteng bakal abis duluan" tukasnya, tangannya melempar kentang pada gue.
Mulut langsung mangap menangkap mangsa, masuk lalu kunyah. "Ya terus gimana dong? Jelasin yang bener jangan makan mulu, kentang gue abis awas aja kalo lo kabur" ancam ku menunjuknya galak.
Anesa nyengir, gue hendak melempar bangku. Gadis itu menegakkan badannya lalu berdeham pelan, lagaknya seperti Bu Menteri ingin berpidato. "Percaya aja sama aku deh Fe. Aku ga akan bawa kamu ke jurang jelek sama orang yang bukan takdir kamu" katanya sambil menatap penuh yakin.
Gue mengernyit menatapnya, "Ya gue ngerti, terus siapa aja targetnya?"
Anesa ikut mengernyit, "Target? Kamu kira jualan bakpao pake target penjualan segala" dia ngelawak ya? Gue kezel jadinya.
"Lo kebanyakan makan balsem ya?" ketus gue menatapnya gregetan, Anesa tertawa lebar mendengarnya. "Gila" sungut gue jengkel di jadikan bahan lawakan sejak tadi. Kepala gue menoleh ke seluruh kafe, memastikan jika Revan dan Brian muncul.
"Gini deh, biar cepetnya aja. Kamsud lo nanti bakal ada tiga cowo yang dekati gue dan di antaranya jodoh gue. Gitu kan ya?" Anesa mengangguk sambil menyeruput minumannya, gue pun kembali mengecek handphone.
"Iya itu maksud ku dari tadi"
Gue hanya mengangguk enggan, "Yaudah kalo gitu cabut deh sono. Kalo kelamaan lu disini kentang gue bakal abis"
Tak berselang lama kepala dua setan yang membuat gue menunggu muncul dari peradaban. Mulut hendak mencaci jika saja Anesa tak berbicara, "Aku pergi dulu deh, lain kali kita lanjutkan ya" bunyi kursi yang di mundurkan pertanda jika gadis freak itu telah angkat kaki.
Gue mendengus, "Ga ada kata lanjutan" jawab gue malas.
XXX
"Dasar lutung, lama banget lo pada" begitu Revan dan Brian sampai di depan muka gue melempari mereka dengan sedotan bekas pelanggan lain. Dua manusia itu mengeles dan tertawa sambil menarik kursi. "Selaw anak setan, lo ke On-time-an, kerajinan, kecepetan, ke-"
"Kengaretan. Lo pada yang ngaret bukan gue yang kecepetan" Brian nyengir, begitupula Revan dan gue benar-benar ingin melempar meja ke kepala mereka.
Setelah adu mulut beberapa menit, Revan berdiri, memesan tiga kopi kesukaan kami di luar kepalanya. "Es kopi coklatnya satu, kopi panas moccanya dua. Kopi lebih dikit dari coklat, terus atasnya kasih krim coklat biar lebih kerasa tapi gulanya jangan kemanisan 70% aja, ya mba"
Gue berteriak saat Revan ingin membayar, "Nyet cemilan jangan lupa. Gue laparrr" bilang aja gue ga tau malu, tapi siapa yang peduli? Brian dan Revan sendiri ga merasa malu selama gue ga pakai gelang sepanjang siku atau memakai gelang kaki sampai lutut.
Gue melihat Revan mendelik, "Bayar sendiri" katanya nyebelin. Gue melotot dan dia mendengus. Pada akhirnya cemilan pun di belikan.
Brian tertawa melihat gue dan tawanya makin membahana tak jelas. "Muka lo kaya babi" katanya lebih tak masuk akal. Telunjuknya menunjuk wajah yang segera gue tepis. "Paan si?" masih melotot. "Itu, mata lo kaya babi bagong melotot-melotot"
Aihhhhh, sarap gue kalo di ladenin. Mana ada babi bagong punya mata melotot? Ada juga hidungnya yang ga selaw bukan matanya.
"Otak lo luber kayanya" balas gue jengkel sambil menendang tulang kering kaki kirinya. Di antara ringisan dia masih bisa tertawa.
Ga berselang lama Revan datang dengan nampan di tangan. Satu piring nasi dan teman-temannya, tiga minuman berbeda dan satu air putih. Revan persis seperti pelayan, pelayan tampan tapi berotak ceper.
"Makasih, pelayan" kepala gue di toyornya. "Sesama pelayan ga boleh menghina, nanti ga majikan bayar, nih" sela Brian makin menghina. Dengan kompak gue dan Revan membogemnya.
Kami sama-sama terdiam, gue memakan dengan khidmat, Revan dan Brian menonton gue makan. "Nongkrong doang nih di sini? Bete, abang" desah Revan yang lagi uring-uringan sejak kemarin. Entah karena apa.
Brian yang sedang mencomoti daging ayam milik gue pun ikut mendesah. "Iya gue juga bete kalo nongkrong doang" katanya menimpali. "Nonton yu" ajak gue membuka solusi. Kedua lelaki itu saling berpandangan sebelum mengangguk, "Film action" sahut kami bersamaan.
Yaa, untungnya segala selera kami sama. Hanya beberapa saja yang berbeda. Jadi, kami tak usah pusing adu jotos hanya untuk mengalah.
Gue berjalan di antara Revan dan Brian. Mereka seperti bodyguard yang siap menghalangi musuh. "Fentika anak ilang" Brian menunjuk plafon nama salah satu toko dengan asal. Gue mendelik meninjunya gesit, dia mengaduh kencang secara drama.
Saat lelaki itu ingin membalas, Revan dengan mudah bertukar posisi. Wajah Brian cemberut, "Najis, curang banget" cibirnya membuat gue tertawa melihatnya merajuk. Imut-imut bikin gatel nampol gitu mukanya.
Well, sudah menjadi tradisi bagi kami menghabiskan waktu saat liburan. Gue sendiri sebenarnya bosen setengah mati liat dua bocah tuyul, ga di sekolah, di rumah pasti mereka lagi yang muncul. Jadi arti kata 'Menghabiskan waktu liburan' bareng mereka itu hanya bualan semata.
"Fen-Fen..."
Gue mendelik saat Revan dengan rusuhnya menggoyangkan bahu gue dari belakang. "Apaan sih?!" tanya gue penuh musuh. Revan menunjuk seorang lelaki paruh baya berkepala pelontos dengan wajah angkuh, sejauh ini ga ada yang terlihat aneh.
"Kenapa?" masih ga ngerti maksud dari bocah satu ini. Dia menunjukkan ketapel di tangannya dan kertas sedang yang sudah di remas. "Liat nih, ya. Gue bisa tepat pada sasaran"
Setelah gue lihat tatapannya, ternyata bidikkannya adalah belahan pant*t si bapak.
Bocah tolol ini yang aneh!
"Kena tulah baru tau rasa lo" umpat gue geleng-geleng. Revan, walaupun telihat lebih dewasa di banding Brian tapi kelakuan konyol mereka itu setara, sebanding, serata, ga ada duanya. Dan gu3 pusing jika meladeni makhluk astral seperti mereka.
Gue kebagian membeli tiket sama Revan, sedangkan Brian pergi dengan wajah merajuk karena harus membeli cemilan untuk di dalam nanti sendirian tanpa pasangan. Mata gue menjelajah pada antrian yang di arahkan zig-zag.
Dan saat itu mata gue berhenti menjelajah. Saat mata hitam pekat itu membalas tatapan gue dengan senyum tipis seperti mengatakan 'Hai'. Berusaha sebisa mungkin wajah gue buat datar. Ya Tuhan.... Jangan buat hamba mu ini semakan bodoh hanya karena tatapan!
"Fen" panggil Revan membuat gue teralihkan. Dengan cepat gue membuang muka dan merangkul lengan Revan cepat untuk maju. Gue tahu lelaki itu masih menatap punggung gue, rasanya ada yang bolong sebentar lagi......
XXX
TBC.
*Sedikit catatan; tokoh, alur cerita, kosa kata, watak masing* orang di cerita ini, insyaallah ga ada yang di ganti. Semuanya masih sama seperti sebelumnya. Tapi..... Bisa jadi sewaktu* -misal; mood lagi ancur, seneng, sedih- ada yang berubah. Jangan tanya kenapa karena gue orang moody-an, muekeke.
*Udah, segini aja dulu buat permulaan revisi pertama. Mudah-mudahan gue ga ngaret dan sekalinya ngaret update lebih dari 3000 kata. Buset, ngetik di hape mahal yang retak bin ngeheng itu need kesabaran. Tolong pengertiannya para teman:)
*Jangan lupa liat lapak sebelah. Barangkali ada cerita gue yg sreg di hati, Shadow's You or Writting. Don't forget for voment yaaa......
*Promosi kali-kali;
Ig; Dini.Araf
Line; Dn.arafSEKIAN, TERIMAKASIH.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fentika Love
Fiksi RemajaCinta? satu hal yg menurut gue ga penting untuk di pahami, di teliti, di ingat. Hidup gue berubah sejak gue kenal tiga orang sekaligus walau dalam waktu yg berbeda. Mencintai, Dicintai, Takdir. Mereka mempunyai pilihan masing-masing. Semua ini bermu...