Kebencian takan muncul jika tidak ada kekecewaan.
Happy Reading :)
Sudah seminggu sejak aku bersekolah di SMA ini. Aku tahu ternyata dia seumuran denganku. Ku kira dia sudah berumur kepala dua karna sifatnya yang dewasa.
Hari ini aku ada latihan musik. Ya, aku bisa bernyanyi dan memainkan gitar namun aku malu menunjukan pada semua orang. Tetapi kepala sekolahku menunjuk diriku untuk mewakili sekolah dalam lomba musik tingkat nasional.
Aku masih bingung ingin menyanyikan lagu apa.
Aku mulai memetik senar gitarJrenggg.....
Engkau yang sedang patah hati
Menangislah dan jangan ragu ungkapkan
Betapa pedih hati yang tersakiti
Racun yang membunuhmu secara perlahan
Aku memainkan sebuah lagu dari Last Child yang berjudul pedih. Entah saat ini lagu itu cocok karna aku selalu memikirkan kata-kata Livia waktu itu
"Gue suka sama kak Juni"Engkau yang saat ini pilu
Menanggung beban berat kehidupan
Tumpahkan semua itu dalam tangismu
Yang menusuk relung hati yang paling dalam
Entah kenapa air mataku ingin jatuh saat kuingin masuk kebagian reff lagu tersebut.
Hanya diri sendiri
Yang tak mungkin orang lain akan mengerti
Disini ku temani kau dalam tangismu
Bila air mata dapat cairkan hati
Kan kucabut duri pedih dalam hatimu
Agar ku lihat
Senyum di tidurmu malam nanti
Anggaplah semua ini
Satu langkah dewasakan diri
Dan tak terpungkiri juga bagi
Engkau yang sedang patah hati
Prok prok prok
Terdengar suara tepukan tangan dari ujung pintu dan membuatku menoleh. Juni.
"Suara kamu bagus, jago main gitar pula." Ucapnya sembari berjalan mendekat.
"Makasih" ucapku sembari terkekeh.
"Kakak ngapain disini?" Tanyaku yang membuatnya mengerutkan keningnya.
"Sejak kapan kamu panggil saya kakak?" Tanya sembari tertawa.
"Sejak saya tahu kalo kamu itu kakak kelas saya. Kamu ketua osis di sekolah ini. Kalo sayang panggil nama kamu, saya ngga sopan dong" Ucapku menjelaskan tampak dia tertawa lagi.
"Untuk orang yang saya cintai panggil apapun saya nengok kok" ucapnya sembari tersenyum sangat manis, lalu meninggalkanku sendirian di ruang musik dengan jantung yang berdetak kencang dan semburat merah di pipiku. Dia memang bisa membuat saya jatuh cinta lagi dan lagi.Hari ini adalah acara lomba musik tingkat nasional. Aku jadi bingung lagi ingin menyanyikan lagu apa, karna lagu kemarin aku kan hanya iseng.
"Peserta selanjutnya dari SMA Karya Bangsa. Aira Pranindya" Oh tidak namaku di panggil. Baiklah aku harus pasrah.
Aku menaiki panggung dan mulai memainkan senar gitarku.Bagaikan... Tetesan...
Hujan di batasan kemarau
Berikan... Kesejukan
Yang lama tak kunjung datang
Menghapus... Dahaga... Jiwaku akan cinta
Sejati...
Betapa sempurna... Dirimu dimata hatiku
Tak pernah kurasakan
Damai sedamai bersamamu
Tak ada yang bisa
Yang mungkin kan mengganti
Tempatmu...
Tepat saat ingin masuk ke bagian reff dia datang. Menyalip diantara kerumunan orang disana. Dia tersenyum menatapku membuatku tersenyum dan wajahku terasa panas.
Ohh.... Kau membuat ku merasa hebat
Karna... Ketulusan cintamu
Ku merasa teristimewa hanya...
Hanya karna... Karna cinta... Kau beri padaku sepenuhnya...
Buat ku selalu merasa
Berarti...
Petikan senar terakhir mengakhiri laguku. Kulihat dia mengulum senyumnya. Kenapa wajahku memanas? Senyumnya sangat bersahabat. Aku menghampirinya
"Hai" ucapku sembari tersenyum.
"Hei kamu bagus penampilan tadi" ucapnya membuat pipiku merona. Dia tersenyum.
"Makasih" ucapku lagi-lagi aku canggung berbicara dengannya.
"Besok saya punya sesuatu untuk kamu. Jadi besok sepulang sekolah temui saya di ruang osis ya" Ucapnya sembari tersenyum. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban iya. Kenapa aku jadi tak sabar menunggu hari esok? Entahlah.
Vomment sa kali wkwk :)
sorry for late update gatau masih ada yg nunggu atau mau baca wkwk absurd pokoknya ceritanya baru belahar nulis biasa hehe :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pria Hujan
Teen FictionSetiap ada dia pasti selalu hujan. Uh aku tidak mengerti. Apa mungkin dia adalah pria hujan?