Hai, ini cerita yang bener-bener baru ditulis. Semacam proyek menantang diri sendiri, karena ini untuk pertama kalinya aku menulis menggunakan POV 3. Belum tahu akan seperti apa hasilnya, karena pembacalah yang akan menilai. Masukannya, ya.
Warning: cerita ini mungkin akan menyebabkan kebaperan maksimal. Jadi yang memiliki masalah dengan hati yang gampang terenyuh, tidak disarankan untukmu. Hahaha... apa sih. Selamat membaca, ya.
**
MALAM-malam seperti ini masih saja terjadi. Setelah sekian lama. Malam-malam saat dia tersentak dan mendadak terjaga. Malam-malam ketika detak jam di dinding bersaing bising dengan desah napasnya sendiri. Malam-malam yang dia tahu akan dilalui dengan mata terbuka sampai fajar menyingsing. Dengan benak yang sibuk membuat pengandaian. Ya, pengandaian yang dia sendiri tahu tidak akan mengubah apa pun dalam hidupnya. Karena semua kesempatan untuk berubah telah mengabu dibakar waktu. Tertinggal jauh di belakang. Bertumpuk dengan ingatan lain bernama kenangan. Hanya saja, kenangan yang ini membuatnya masih kerap berkeringat dan menggigil dalam mimpi. Seolah melekat di belakang kepalanya. Menggayuti alam bawah sadarnya. Mengikuti langkahnya. Menyakitkan, tapi sungguh memang ada kenangan yang tidak bisa dilepas begitu saja.
Dia tahu, memejamkan mata tidak akan membantu. Menyeret selimutnya, dia bangkit meninggalkan ranjang. Menuju dapur. Secangkir kopi hitam bisa membantunya melewati beberapa jam ke depan.
Dia duduk di kursi bar setelah meletakkan cerek di atas kompor. Menopang dagu dengan sebelah tangan. Pandangannya terarah pada dinding kaca yang membatasi dapur dan teras belakang. Hanya ada kelam yang disirami temaram lampu. Kelam yang entah mengapa membuatnya merasa sesak.
Ini tidak adil, pikirnya pahit. Semua hal punya masa kedaluarsa. Makanan, obat, kosmetik, bahkan surat perjanjian. Mengapa hal yang sama tidak berlaku untuk perasaan? Alangkah mudahnya jika ada batas waktu yang ditetapkan untuk menghilangkan sakit yang melibatkan suatu peristiwa di masa lalu.
Jeritan cerek mengembalikannya ke alam nyata. Dia beranjak malas. Masih dengan selimut yang membungkus tubuh. Sesaat kemudian dia sudah duduk kembali dengan secangkir kopi panas. Mengepulkan aroma kafein yang kental. Lidahnya terasa terbakar ketika memaksakan menyesap kopinya. Sakit. Tapi setidaknya itu mengalihkan dari sakit lain di dalam hati. Sakit dari luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Luka yang sengaja dirawatnya agar tetap berdarah untuk dicandu perihnya. Luka yang membuatnya tetap bertahan dan membangun kekuatannya dari situ.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia (Yang Kembali)- TERBIT
ChickLitKehadiran pria itu seperti mimpi buruk yang menjelma nyata bagi Dara. Mungkin jauh lebih mengerikan daripada mimpi buruk, karena alam mimpi selalu bisa ditinggalkan saat terjaga, tapi bagaimana menghindari dunia nyata? Dia kembali. Layaknya menggar...