Typo mungkin masih betebaran. Semoga bisa dinikmati.
**
MEREKA duduk berhadapan di sebuah gerai kopi di pusat perbelanjaan. Dara yang menentukan tempatnya. Mereka juga datang dengan kendaraan masing-masing. Baru bertemu setelah berada di tempat yang disetujui. Dara mendorong kursinya ke belakang untuk memberi jarak. Tidak bermakna, tapi dia tetap melakukannya. Beberapa menit berlalu dalam diam. Bahkan setelah pelayan datang mengantar pesanan mereka.
"Aku minta maaf," Satya akhirnya bersuara. Dia tahu dialah yang harus memulai. Hanya saja ini tidak semudah bayangannya. Melihat Dara menyentuh cangkirnya dengan tangan gemetar seperti meremas hati.
"Untuk apa?" Dara bergumam tanpa mengangkat kepala. Seolah Satya tidak cukup berharga untuk dilihat. Seolah uap kopi di depannya lebih menarik.
"Untuk semuanya."
"Aku tidak membutuhkan maafmu. Maaf tidak akan mengembalikan semua yang kamu hilangkan dariku, kan?"
Itu benar. Satya membuang napas. Dia tidak akan membela diri. "Aku tahu. Aku salah."
Kali ini kepala Dara terangkat. Pandangannya sengit. "Seharusnya kamu tidak meninggalkanku di sana waktu itu."
"Aku minta maaf."
"Tidak, seharusnya kamu tidak membawaku ke sana."
Satya kembali menarik napas. "Aku tidak tahu kejadiannya akan seperti itu." Itu terdengar seperti pembelaan diri. Dara tidak butuh itu. Dara tidak ikut ke sini untuk mendengarnya membela diri. "Aku sungguh-sungguh minta maaf," dia meralat.
"Kalau maaf bisa mengembalikan aku ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahanku, aku akan memberikannya dengan senang hati." Dara mengusap cangkirnya yang panas. Mencoba menghentikan getaran jemarinya. "Tapi aku tidak bisa kembali meskipun menyesal. Hidupku tidak pernah sama lagi karena kamu." Air matanya mulai menitik. Dia mengusapnya dengan kasar.
"Aku tahu." Satya sungguh ingin menenangkannya. Dara terlihat rapuh, serupa porselin retak yang siap pecah setiap saat. Dan dia yang menyebabkannya.
"Kamu tidak tahu!" Volume suara Dara meningkat. "Kamu meninggalkanku. Kuingatkan kalau kamu lupa."
Satya tidak ingin bertahan. Dia akan menjelaskan panjang lebar kalau Dara sudah bisa diajak bicara. Sekarang dia hanya perlu menerima semua muntahan kemarahan gadis itu. Kemarahan yang pasti sudah mengkristal di dalam hati. Dalam pandangan Dara, dia salah. Dan dia memang salah, meskipun dia punya alasan sendiri. "Aku bisa membayangkannya. Pasti sulit..."
"Kamu bisa membayangkannya?" getaran jemari Dara semakin keras. "Aku yang mengalaminya. Aku yang ada di sana karena kamu pergi."
"Aku minta maaf," ulang Satya untuk kesekian kali. "Kamu tahu aku mencintaimu. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang menyakitimu dengan sengaja."
Dara menatapnya sedih. "Kamu tahu, tadinya kupikir kamu sungguh menyesal dan minta maaf dengan tulus. Tapi kamu tidak pernah berubah, kan? Kamu masih tetap pembohong yang sama."
"Aku sungguh-sungguh." Ya, dia sungguh-sungguh. Bukan karena rasa bersalah saja yang membuat Satya tidak pernah melupakan Dara. Dia tahu itu karena dia menyerah setelah menjalani hubungan dengan beberapa orang wanita karena dia tidak pernah benar-benar melupakan gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia (Yang Kembali)- TERBIT
ChickLitKehadiran pria itu seperti mimpi buruk yang menjelma nyata bagi Dara. Mungkin jauh lebih mengerikan daripada mimpi buruk, karena alam mimpi selalu bisa ditinggalkan saat terjaga, tapi bagaimana menghindari dunia nyata? Dia kembali. Layaknya menggar...