Tujuh

31.8K 3.9K 63
                                    

Sebenarnya agak ragu saat akan meng-up date bagian yang ini karena sepertinya feel-nya kurang dapat. Tapi karena telanjur ditulis, ya... Cek typo yang betebaran, ya. Ini baru kelar ditulis jadi editnya belum mendalam. Selamat membaca.

**

Saat itu liburan semester ketika Mama berkata dengan riang dan penuh semangat, "Kantor Mama mengadakan gathering di Puncak, Sayang. Keluarga dibawa serta. Kita akan bersenang-senang. Kita sudah lama tidak liburan, kan?"

Dara sebenarnya tidak antusias dengan gathering itu.Tahun lalu kantor Mama mengadakan acara yang sama. Seru sih, tapi dia lebih banyak menjadi penonton daripada ikut serta pada berbagai lomba yang diadakan. Hampir semua lomba itu melibatkan keluarga. Ayah, ibu, dan anak. Dan Dara hanya punya Mama. Tidak pernah ada laki-laki yang pernah dipanggilnya papa di dalam keluarganya. Saat kecil dulu, dia pernah menanyakannya pada Mama.

"Tidak semua orang beruntung punya Papa dan Mama yang lengkap dalam keluarganya, Sayang," kata Mama ketika itu. "Tapi kamu tidak perlu khawatir. Mama akan menyayangimu dua kali lebih banyak daripada mama teman-temanmu menyayangi temanmu. Jadi kamu tidak perlu mencari Papa."

Dan Dara memang tidak pernah kekurangan kasih sayang. Mama yang pintar selalu bisa membantunya mengerjakan PR. Meskipun sibuk dan tampak kelelahan sepulang kerja, Mama tidak pernah menolak membacakan dongeng yang ingin Dara dengar sebagai pengantar tidur. Mama bahkan mengambil libur dari kantor saat dia harus dirawat inap karena sakit. Dara tidak butuh seorang Papa untuk mengajarinya bersepeda, karena Mama bisa melakukannya. Dara sangat membanggakan Mama. Dia ibu terbaik di dunia.

Meskipun Mama tidak pernah mengatakan langsung, setelah besar, Dara sedikit banyak mulai mengerti mengapa dia tidak punya Papa. Mama tidak pernah menikah, jadi hampir dipastikan dia hadir di dunia karena kesalahan yang tidak direncanakan. Tapi Dara tidak terlalu peduli. Mama mencintainya. Dia tahu bagi Mama dirinya adalah segalanya, sebagaimana dia menganggap Mama sebagai orang paling berharga di dunia. Jiwanya.

Mereka hanya berdua. Bagi Dara itu cukup. Kadang-kadang, Mama membawanya ke Surabaya, tempat keluarga besar mereka tinggal. Tapi biasanya tidak pernah lama. Wajah Mama selalu mendung selama tinggal di rumah nenek. Para sepupu Dara yang lebih besar selalu menatapnya dengan aneh, membuat Dara risi. Mama lalu buru-buru mengakhiri liburan mereka dan mengajak Dara kembali ke Jakarta. Dan Mama kemudian semakin jarang mengajaknya ke Surabaya.

Dara tidak tahu persis, tapi dia menduga rasa enggan Mama pulang ke Surabaya pasti berhubungan dengan dirinya. Kehadirannya di dunia. Kesalahan yang membuatnya merasa dihakimi keluarga. Penghakiman yang tidak pernah berhenti meskipun waktu telah berlalu.

"Kelak saat kamu dewasa," kata Mama suatu ketika, saat mereka berdua berbaring di ranjang Dara. "Kamu akan menemukan seseorang. Seseorang yang kamu pikir akan menjagamu seumur hidup. Seseorang yang membuatmu melihat dunia sebagai tempat yang indah. Seseorang yang rasanya diciptakan hanya untukmu. Seseorang yang membuatmu merasa diinginkan. Tapi itu hanya ilusi. Karena kenyataannya, orang itu hanya sekadar mampir dalam hidupmu. Memberimu sedikit tawa dan keindahan untuk kamu kenang seumur hidup. Lalu dia pergi mengejar petualangannya. Impiannya. Ya, orang seperti itu ada, Sayang. Namun, sebesar apa pun kamu menginginkannya, kamu tidak bisa sungguh-sungguh menyesali kehadirannya dalam hidupmu. Terlebih lagi karena dia meninggalkan sebagian dari dirinya padamu. Tapi kelak, saat kamu bertemu dengan seseorang seperti itu, kamu benar-benar harus meyakinkan dia sungguh berniat tinggal dan bukan sekadar singgah dalam hidupmu. Mama tidak ingin melihatmu meneteskan air mata. Tangismu pasti akan menyakitkan hati Mama. Kamu tahu bagaimana berharganya dirimu bagi Mama."

Dia (Yang Kembali)- TERBIT               Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang