Cek typo, ya, soalnya langsung di-up date setelah ditulis. Selamat membaca.
**
MUTI menerobos saat Dara menguakkan pintu. Dara menarik napas panjang sebelum menutup pintu dan menyusul temannya yang sudah lebih dulu masuk ke ruang tengah. Dia sudah bisa menduganya sebelum Muti bicara. Ini pasti buntut kejadian semalam. Saat Dara yang marah meninggalkan rumah Satya begitu saja.
Dara tahu itu akan menimbulkan banyak pertanyaan. Seorang karyawan tidak akan melakukan hal seperti itu kepada atasannya, bagaimanapun menyebalkan situasinya. Tapi saat kemarahan menguasai, akal sehat memang tidak bisa diandalkan. Itu yang Dara alami semalam.
"Jangan bilang kalau kamu baru mengenal Pak Satya sejak dia datang ke kantor kita," sembur Muti begitu Dara muncul di depannya. "Karena kelihatannya tidak seperti itu."
"Kamu datang hanya untuk menanyakan itu?" Dara tidak akan menceritakan luka yang diperamnya pada orang lain. Muti sekalipun. Mengingatnya hanya akan merobek hati. Kembali menenggelamkannya dalam penyesalan. Semalam dapat dirasakannya lubang itu menganga. Membangkitkan semua monster-monster penghuni mimpinya. Monster yang tak mengizinkannya tenteram dalam lelap.
"Bu Santi menanyakanmu semalam." Muti mengganti taktik. Dia dapat melihat cara Dara bertahan. Dia sudah menduga ada sesuatu antara Dara dan Pak Satya ketika melihat laki-laki itu mengambil gelas kertas kopi Dara dengan santai waktu pameran. Itu bukan gestur seorang pimpinan pada bawahan yang baru dikenalnya beberapa hari. "Kamu pergi sebelum acaranya dimulai."
Ah, Bu Santi. Dara merasa tidak enak. Tapi mau bagaimana lagi? Dia tidak mungkin bertahan di sana. Laki-laki itu sudah melemparnya pada duka tak berujung di masa lalu. Dia tidak mungkin membiarkannya memasuki hidupnya sekarang. Dia harus memasang batas yang jelas. Mereka akan terus berhubungan. Hubungan yang profesional selayaknya atasan dan karyawannya.
Dara tahu, laki-laki itu tidak akan tinggal di sini selamanya. Ini hanya batu loncatan bagi karirnya. Dara hanya perlu bersabar sampai laki-laki itu kembali ke tempat di mana seharusnya dia berada. Tempat asalnya. Dan sudah jelas, itu bukan di sisinya.
"Aku tidak enak badan. Bu Santi pasti mengerti."
Gantian Muti yang menarik napas panjang. "Kamu tidak akan mengatakan apa pun, kan?"
"Tidak ada yang harus aku katakan," Dara mengelak. Membuang pandangan ke televisi yang menyala. Seolah iklan yang sedang tayang itu sangat menarik.
Muti tahu dia tidak akan mendapatkan apa-apa. Dia menyerah. Memang selalu ada bagian yang ingin kita simpan sendiri dalam kotak kenangan. Memberitahu orang lain seperti mengotori kenangannya.
"Jalan, yuk." Dia mengalihkan pembicaraan. "Kita Trans. Ada tas bagus yang kulihat di sana minggu lalu."
"Malas." Dara tahu Muti tidak mengejarnya lagi. Dan dia lega karena temannya itu mengerti batas yang tidak boleh dia lewati. "Aku mau di rumah saja."
"Ayolah, Ra," bujuk Muti. "Aku tidak akan memaksamu mengatakan apa yang ingin kamu simpan sendiri dalam hati. Tapi tinggal di rumah dengan pikiran kusut juga tidak baik. Kamu bisa jamuran. Lebih baik kita bersenang-senang. Belanja. Semua masalah bisa diselesaikan dengan menggesek kartu dan menukarnya dengan barang-barang bagus."
Mau tidak mau Dara tersenyum. "Dan kemudian menyumpahi tagihan kartu kreditmu? Aku tidak mengerti di mana letak kesenangan yang kamu maksud itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia (Yang Kembali)- TERBIT
ChickLitKehadiran pria itu seperti mimpi buruk yang menjelma nyata bagi Dara. Mungkin jauh lebih mengerikan daripada mimpi buruk, karena alam mimpi selalu bisa ditinggalkan saat terjaga, tapi bagaimana menghindari dunia nyata? Dia kembali. Layaknya menggar...