Sembilan

31.3K 3.9K 104
                                    

Cek Typo, ya. Selamat membaca.

**

Dara sedang memasukkan barang-barangnya ke dalam tas ketika ponselnya berdering. Bu Santi.

"Ya, Bu?" Dia buru-buru mengangkat ponselnya. Sebelah tangannya yang lain mencangklongkan tas di bahu.

"Kamu masih di ruanganmu?"

"Baru keluar, Bu." Dara menutup pintu ruangannya tergesa. Tadi dia sudah minta izin Bu Santi untuk menengok pembangunan perumahan mereka di daerah Tanjung. "Ada apa, ya?" Mungkin Bu Santi perlu dia untuk mendiskusikan gambar yang diserahkannya pagi tadi. Bu Santi memang sedang keluar saat Dara ke ruangannya. Gambar itu Dara titip melalui sekretaris Bu Santi.

"Pak Satya ikut denganmu, ya. Katanya harus mengambil sesuatu di rumahnya, tapi Ateng sedang ke bengkel. Kelihatannya dia terburu-buru, jadi aku mengusulkan untuk ikut kamu. Tempat tujuan kalian kan sama."

Dara masih menatap ponselnya, terenyak, lama setelah Bu Santi menutup percakapan mereka. Dia harus memberi laki-laki itu tumpangan? Yang benar saja! Tapi dia tahu menolak akan terdengar aneh. Dara mengembuskan napas kesal. Ternyata bertahan di tempat ini jauh lebih sulit daripada yang dibayangkankan.

Dara tidak suka membayangkan berdua di dalam mobil yang sama dengan laki-laki itu. Seperti mengumpulkan helai-helai masa lalunya. Menyusun kepingan kenangan yang sudah dibuatnya berserak agar tak berharga untuk ditengok kembali. Karena dia benci diingatkan seperti apa dirinya di masa lalu.

Satya tidak sengaja mendengar Bu Santi mengatakan pada seorang karyawannya jika Dara akan meninjau lokasi di Tanjung. Di kompleks tempat tinggalnya. Memang masih ada pembangunan yang sedang dikerjakan di sana.

Entah bagaimana, tapi ide itu lantas melintas di benaknya. Tidak, dia tidak meninggalkan sesuatu yang harus segera diambil di rumah. Dia hanya menggunakan kesempatan yang muncul di depan mata. Dara harus terus diingatkan bahwa dia ada. Tidak akan menyerah sampai gadis itu memaafkannya. Dengan ikhlas, bukan karena terpaksa.

Satya yakin takdir mereka beririsan. Karena itu mereka dipertemukan. Berada di tempat ini memang direncanakannya. Tapi itu bagian dari takdir. Tuhan tidak akan membuatnya tahu di mana dia bisa menemukan Dara, seandainya mereka sudah ditakdirkan terpisah selamanya. Dia hanya perlu bersabar menghadapi gadis itu. Dia bisa bersabar. Bersabar tidak akan sulit. Apa yang dilalui Dara sekian tahun lalu jauh lebih menyakitkan.

Satya melihat Dara muncul dari dalam gedung. Dia memang mendahului gadis itu keluar kantor dan menunggu di tempat parkir. Dia tidak akan membiarkan Dara lolos dan melarikan diri darinya. Tidak kali ini, setelah kemarin gadis itu menolak mentah-mentah saat dia meminta bertemu melalui telepon. Dia sudah tahu penolakan Dara. Dia hanya memaksakan diri menghubungi untuk mendengar suaranya.

Gaya berjalan Dara masih sama seperti yang Satya ingat. Yang berbeda jauh dari penampilannya hanyalah kuciran di rambut. Tidak ada lagi buntut kuda yang dulu kerap menjadi korban keisengan tangannya. Rambut sepunggung Dara dibiarkan terurai. Kadang-kadang Satya melihatnya dicepol dan disisipkan sebatang pulpen atau pinsil di tengah sebagai penahan. Terutama ketika berada di dalam kantor, saat berkeliaran dengan cangkir atau gelas kertas berisi kopi di tangannya.

Dara yang diingatnya tidak suka kopi. Gadis itu tergila-gila pada minuman cokelat. Panas atau dingin sebagai teman makan kue. Atau jus jeruk saat mereka makan sesuatu yang lebih berat.

"Kopi bikin melek. Dan aku butuh tidur yang cukup supaya bisa belajar dengan baik," kata Dara kala itu, saat dia menawari mencicipi kopi miliknya.

Dia (Yang Kembali)- TERBIT               Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang