Bagian 4

2K 169 11
                                    

Alex menutup buku yang sudah selesai dibacanya sejak sore tadi. Karena bosan dan tak punya kegiatan lain, dia membaca ulang buku yang memang isinya cukup menarik itu.

Suara dengkuran halus dari Alfred yang terlihat sangat lelah menarik perhatiannya.

Lama sekali matanya menatap wajah yang sedang tertidur itu. Orang yang menurut Alex aneh dan mungkin sudah langka. Di kota besar di mana tipu-menipu sudah menjadi kebudayaan, di tempat di mana hati nurani sudah tidak bisa lagi ditemukan, Alex tak menyangka akan bertemu dengan seorang Alfred.

Untung saja dia memiliki fisik yang kuat, kalau tidak, mana mungkin dia bertahan di kota besar dengan cara hidupnya yang sekarang, ---menolong orang asing tanpa banyak tanya, menampung orang tak dikenal di rumahnya, bahkan merawatnya hingga sehat.

Tadi pagi, sesudah Alfred berangkat kerja, Alex melihat-lihat isi lemarinya. Harus diakui, Alex sedikit terperangah dengan koleksinya yang tak terduga. Mungkin saja isi lemarinya berkali lipat lebih mahal dari harga rumah yang ditempatinya ini. Orang luar tak akan menduga, di rumah kecil, di dalam lemari kayu yang sudah butut, terdapat beragam jenis barang mewah yang harganya mungkin mencapai ratusan juta. Semua barang original, bukan imitasi.

Alex juga sempat menghitung nominal di buku tabungan Alfred. Sudah mencapai delapan digit. Angka yang cukup fantastis, apalagi jika melihat gaya hidup serba prihatin Alfred. ---Di dapurnya yang bersih hanya ada sepasang sendok garpu, sebuah piring, sebuah mangkuk, sebuah gelas, sebuah kompor gas kecil, sebuah panci kecil untuk memasak air, dan beberapa bungkus mie instant.

Tadinya Alex sempat heran, bagaimana Alfred bisa membeli barang-barang mahal tersebut, tapi sekarang terjawab sudah. Kekaguman yang awalnya Alex rasakan menguap begitu saja.

Ternyata Alfred tak ada bedanya dengan manusia yang hanya tahu menggunakan jalan pintas untuk mencapai keinginan mereka.

Alfred membalik tubuhnya, punggungnya menghadap Alex, sedangkan wajahnya menghadap ke arah dinding.

Sepanjang malam, Alex hanya duduk di samping ranjang, tenggelam dalam alam lamunannya sendiri. Hingga Alfred bangun dan berangkat kerja, barulah Alex bisa tertidur.

------

"Alex, bos gue bilang dia lagi butuh tenaga tambahan. Jadi lu bisa kerja meskipun gak punya kartu identitas."

Alex baru saja selesai mandi saat Alfred pulang dari pekerjaannya. Di tangan Alfred tertenteng kantongan plastik berisi dua bungkus nasi. Wajahnya berbinar-binar sambil memberitahu Alex kabar gembira ini.

"Yang bener?" Alex bertanya dengan nada tak yakin.

"Iya. Tapi dengan syarat, gue yang jamin. Jadi kalo lu macem-macem, gue juga bakalan ikut kena getahnya."

"Lu setuju?"

"Lah? Lu gak mau?" Alfred melempar kembali pertanyaan yang diajukan Alex. "Kemarin lu keliatan serius banget, jadi gue minta tolong sama bos gue. Lagian gue kerja uda lama, jadi bos uda percaya banget sama gue."

"Lu kenal gue baru tiga hari, lu uda berani jadi penjamin gue? Gimana kalo gue berniat jahat?"

Alfred memandangi Alex dengan tatapan serius. "Orang yang berniat jahat gak akan mungkin ngomong. Bener sih kalo lu itu nyebelin banget, tapi lu gak jahat."

Sudah tahu karakter dasar Alfred, Alex hanya menggosok rambut hitamnya dengan handuk agar cepat kering. Matanya tertuju ke nasi bungkus di atas meja. Tidak sama dengan yang kemarin.

"Lu bilang yang kemarin gak enak, jadi gue beli tempat lain." Seperti mengerti arti tatapan Alex, Alfred yang sedang menghidangkan nasi bungkus di atas meja menjelaskan dengan singkat.

Rainy Night Encounter : Alex and AlfredTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang