Bagian 9

1.8K 169 6
                                    

Malam yang dingin. Hujan lebat mengguyur bumi tanpa belas kasihan.

Di malam di mana orang-orang enggan untuk keluar rumah, Alfred menyeret langkahnya dengan perlahan. Tidak dipedulikannya keadaannya yang basah hingga ke tulang. Dinginnya air hujan di tengah malam sudah tak mampu membuatnya lebih kedinginan lagi.

Tatapannya kosong. Langkah lesunya membuatnya terlihat seperti zombie di tengah hujan.

Malam ini benar-benar malam penuh kesialan baginya.

Mungkin saja saat ini Alex sudah menceritakan pada mereka tentang keadaan Alfred yang sebenarnya. Tentunya mereka sedang tertawa bersama, menertawakan kebodohannya.

Tadi dengan susah payah akhirnya dia menemukan alasan untuk segera pergi dari tempat itu, lari sebelum Alex membongkar kedoknya. Di tengah jalan, taksi yang ditumpanginya mogok. Sekian lama menunggu, tidak ada taksi lain yang lewat. Akhirnya dia memutuskan untuk menempuh jarak yang masih lumayan jauh itu dengan berjalan kaki saja. Baru berjalan sekitar seratus meter, hujan pun turun dengan sangat deras. Berteduh pun percuma karena Alfred sudah sangat basah.

Tuhan pasti sedang menghukumnya atas kebohongan yang dilakukannya. ---Alfred tertawa pahit.

Tiba di depan gang, Alfred menghentikan langkahnya. Bukan karena Santo dan teman-temannya sedang mengeroyok orang lagi, tapi karena teringat awal pertemuannya dengan Alex.

Mereka bertemu pertama kali juga di malam dingin berhujan seperti ini.

Ahh... Apa jadinya kalau waktu itu Alfred tak mempedulikan Alex? Mungkin sekarang Alfred tak akan merasa semenderita ini.

Iya. Harusnya waktu itu Alfred tak usah menolong Alex. Kalau saja waktu itu Alfred tak menolongnya, saat ini mungkin Alfred masih menjalani hidupnya dengan bahagia. Tak perlu merasakan sakit hati yang mendalam seperti ini. Tak perlu merasakan nyerinya hati yang diremas-remas dari dalam.

Air mata berbaur menjadi satu dengan air hujan yang membasahi wajahnya. Diam-diam Alfred bersyukur dengan hujan ini, paling tidak, tak ada yang tahu kalau dia sedang menangis.

Bahkan rumah yang biasanya mampu meredakan kelelahannya sekarang membuatnya merasa sesak napas. Cukup lama Alfred berdiri mematung di depan pintu rumahnya dengan tubuh basah kuyup sebelum akhirnya membuka pintu reot itu.

"Lama banget! Ke mana aja lu?"

Alfred sempat merasa kalau dia sedang berilusi saat telinganya menangkap suara bernada sinis yang sudah cukup akrab di telinganya itu. Saat dia menoleh dan melihat Alex duduk santai di atas tempat tidurnya, lengkap dengan sepatu mahalnya, Alfred tahu kalau dia tidak sedang bermimpi. Alex benar-benar ada di sini sekarang.

Tapi dia tidak seperti Alex yang dikenalnya, ---Alex yang memakai kaus oblong dan celana training santai. Alex yang ada di hadapannya sekarang adalah Alexander. Memakai setelan mahal dengan penampilan modis. Kaki bersilang memperlihatkan sepatu mengilapnya.

Alfred melirik sekilas ke arah sepatu Alex yang dengan tidak sopannya parkir di atas ranjangnya, lalu kembali menundukkan wajahnya, menolak melihat wajah Alex. Tetesan air hujan dari rambutnya masih terus membasahi wajahnya.

"Kenapa? Bukannya lu pengen kenal sama Alexander 'yang asli'?"

Alfred hanya mendengarkan, wajahnya sama sekali tidak mau berpaling ke arah Alex, tidak ingin melihat wajah dengan ekspresi yang pasti akan lebih melukainya.

Ruangan kecil ini kembali diisi oleh mereka berdua. Tapi tidak hangat seperti dulu lagi. Saat ini, selain derasnya suara hujan, di rumah sempit ini, Alfred seakan bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri. Berdetak dengan tenang bagaikan detak berirama jarum jam. Berdetak dengan kuat.

Alfred sendiri heran dengan dirinya sendiri, seharusnya dia segera berbalik dan lari meninggalkan Alex kalau dia memang tidak ingin disakiti oleh Alex, tapi kakinya terpaku dengan kuat di lantai, membuatnya sama sekali bergeming dari tempatnya berdiri dan hanya mendengarkan kalimat demi kalimat yang kian menginjak harga dirinya.

"Alexander yang asli sudah muncul, kok lu bukannya senang? Bukannya lu yakin kalo lu bakal mampu bikin Alexander suka sama lu?"

Deritan suara ranjang menandakan Alex bergerak dari tempat tidur. Derap sepatunya yang selangkah demi selangkah mendekati Alfred tidak membuat Alfred mengangkat wajahnya untuk menatapnya.

Telapak tangan Alex yang besar dengan kasar memegang rahang Alfred dan memaksanya untuk menatap lurus ke matanya. "Bagaimana? Mau coba kencan dengan gue? Sekali kencan, gue bayar 500 juta." Suaranya terdengar ringan, seperti sedang mengajak Alfred keluar mencari makan saja, tapi bagi Alfed, ucapannya jauh lebih menyakitkan dari pada makian kasar yang didapatnya dari paman dan bibinya saat mereka mengusirnya.

Tinggi badan Alfred yang memang kalah dari Alex membuat posisi wajahnya menengadah. Alfred menggigit bibirnya menahan emosi yang siap meledak. Mata Alex terus menatapnya, tapi Alfred merasa tak lagi mengenalinya. Sepertinya dia bukan lagi Alex yang pernah menumpang secara paksa di rumahnya lagi, bukan Alex yang memakai pakaian seadanya dan tidak banyak bicara.

Meski enggan menatap sepasang mata tajam yang bersinar dingin itu, entah kekuatan dari mana, akhirnya Alfred menatapnya lurus sambil memamerkan senyumnya yang biasa.

"Gue berubah pikiran. Setelah tau lu mampu memberi lebih, 500 juta rasanya terlalu sedikit." Tidak ada keraguan di suara Alfred. Sedikit gemetar pun tidak. Senyum di wajahnya pun hanya berupa seringai, sepertinya dia benar-benar hanya mementingkan uang. Sekuat tenaga, ditahannya keinginannya untuk memalingkan wajah.

Posisi mereka berbalik dengan cepat. Kali ini giliran Alex yang kehilangan senyum di wajahnya. Kemarahan yang meluap terpancar dengan jelas di matanya. Berbanding terbalik dengan senyum tenang Alfred yang menunjukkan kepercayaan dirinya.

Tetesan air dari ujung rambut Alfred membasahi tangan Alex yang masih menjepit rahang Alfred dengan kuat. Dinginnya air yang terus menetes menyusup hingga ke hati Alex, membekukan hatinya.

Tadinya Alex hanya bermaksud menggoda Alfred, ingin melihat reaksi terkejut dan marahnya. Tapi tak disangkanya, malah dia yang marah dengan reaksi Alfred. Alfred sama sekali tak terpengaruh olehnya, dengan tenangnya dia bisa bernegosiasi tanpa rasa malu. Alex tak mengerti bagaimana dia bisa tetap tenang dalam keadaan seluruh topengnya diketahui oleh Alex.

"Baik!" Alex menurunkan tangannya dari wajah Alfred, merogoh kartu nama dari sakunya. "Lu dateng ke alamat ini. Gue gak sudi melakukannya di tempat kayak gini." Kartu nama itu dilempar begitu saja ke wajah Alfred yang basah. Tanpa basa-basi lebih panjang, Alex melangkah keluar dengan langkah lebar.

Suara pintu dibanting dengan keras hanya sedikit membuat Alfred terlonjak. Kartu nama yang dilempar Alex barusan melayang perlahan hingga jatuh ke lantai. Alfred tidak tahu kartu nama siapa karena kartu terjatuh dalam posisi terbalik, sebuah alamat apartemen di kawasan elit tertera di atasnya dengan tulisan tangan, lengkap dengan nomer telepon yang bisa dihubungi.

Kartu itu memang sejak awal sudah dipersiapkan oleh Alex. Alex yang sudah berencana mengajak Alfred untuk tinggal bersamanya di apartemen mewahnya sama sekali tidak menyangka rencananya memberi kejutan harus berakhir seperti itu.

Seperti di awal pertemuan mereka, Alfred yang waktu itu terjatuh karena kelelahan menyeret tubuh besar Alex, lagi-lagi terjatuh di tempat yang sama dengan sekujur tubuh basah. Hanya saja kali ini dia terjatuh karena beratnya beban batin yang dirasakannya.

Perlahan, matanya terpejam. Tubuhnya yang basah dan terbaring di atas lantai yang dingin tak lagi dihiraukannya. Alfred hanya ingin tidur.

Lelah...

Lelah sekali...

Bagian 9, selesai.

Satu bagian lagi, maka selesai sudah....

Rainy Night Encounter : Alex and AlfredTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang