Bagian 7

1.8K 169 5
                                    

"Brak!"

Suara pintu yang dibuka dengan kasar membuat Alex yang setengah terlelap langsung terlonjak bangun.

"Di sini lu rupanya. Gue cariin keliling hotel, rupanya lu uda balik."

Lega sekali wajah Alfred saat melihat Alex ada di rumah. Tadi dia sempat panik saat Alex tak juga kembali, padahal pamitnya mau ke toilet.

"Gue tersesat. Dari pada pusing, gue balik aja." Alex duduk di atas tempat tidur, memandangi Alfred yang sedikit berantakan dengan keringat membasahi wajahnya, napasnya juga masih memburu. Sepertinya dia benar-benar berkeliling mencari Alex.

"Gue kira terjadi apa-apa sama lu."

"Gak lah. Gue lebih kuat dari lu, kalo lu aja bisa jaga diri, masa gue gak bisa."

Setelah tertegun sejenak, Alfred pun tertawa. "Iya ya. Gue lupa kalo lu kuat. Soalnya di otak gue masih terbayang dengan jelas lu yang terkapar karena dikeroyok."

Tidak seperti biasa, kali ini Alfred tidak langsung melepas pakaian mahalnya, malah dengan sedikit terhuyung, dia berjalan ke arah tempat tidur dan duduk bersandar di bawah tempat tidur, meraih botol minuman mineral dan menenggak habis isinya.

"Tumben lu pulang cepat?"

"Kan gue nyari lu."

"Sorry."

"Gak pa-pa. Malahan sekarang gue bersyukur lu menghilang."

"Kok bisa?"

Alfred menengadahkan kepalanya hingga dia bisa melihat Alex yang duduk di atas ranjang. Sebuah seringai lebar hingga memperlihatkan gigi putih rapinya terpampang di depan Alex.

"Jadi gini. Ternyata mereka kenal sama Alex yang asli. Hampir saja kan..." Untung saja tadi Alex menghilang sebelum sempat diperkenalkan dengan mereka. Kalau tadi Alex tidak menghilang dan Alfred memperkenalkannya pada mereka sebagai Alexander, pasti semua kebohongannya langsung terbongkar saat itu juga.

"Alexander yang asli saat ini lagi di luar negri, katanya lagi liburan. Terus lagi, katanya Alexander ini sangat royal, baru-baru ini dia beliin pacarnya yang baru seminggu jadian tas mahal yang harganya 500 jutaan. Gila gak tuh? Gue jadi pengen kenal sama Alexander yang asli. Kalo gue bisa dapetin dia, hidup gue uda pasti terjamin deh. Tadi Sandy sempat keceplosan, katanya Alexander itu gak pake ribet, mau cewek mau cowok, asalkan sesuai dengan seleranya, pasti diembatnya."

"... Terus lu kepedean gitu? Yakin banget lu Alexander bakal mau sama lu?"

"Gak ada salahnya kan mencoba. Seminggu kencan aja dibeliin tas seharga rumah, gue kan jadi penasaran..."

"Gue yakin Alexander gak bakalan mau sama lu."

"Menghina banget!" Tiba-tiba Alfred berdiri dan membuka pakaiannya, melemparnya dengan asal-asalan ke lantai. "Lu liat baik-baik. Di mana kurangnya gue? Muka gue oke, body gue juga bagus."

Berdiri di hadapan Alex hanya dengan ditutupi celana dalam bukan lagi hal baru buat Alfred. Selama mereka hidup bersama di rumah kecil ini, pemandangan seperti ini sudah menjadi hal biasa buat mereka.

Alex memandangi dengan teliti setiap bagian tubuh Alfred mulai dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Wajah femininnya memang sangat bertolak belakang dengan tubuhnya yang berotot bagus. Bagian atas tubuhnya lebih kecoklatan dibandingkan bagian bawah tubuhnya yang berwarna lebih pucat. Kulitnya halus dan mulus meskipun Alex tak pernah melihatnya merawatnya secara berlebihan selain mandi setiap kali dia pulang dari bepergian.

"Tidak buruk," ujar Alex singkat. Kepalanya sedikit dimiringkan, bibirnya juga membentuk garis senyum yang agak meremehkan.

"Perlu lu tau ya, bukan cuma fisik gue, service gue juga luar biasa bagus. Walau pada mulanya mereka di bawah ancaman gue, sekarang mereka yang mohon-mohon sama gue." Alfred melipat kedua tanganya di depan dada dengan gaya angkuh. Kelihatannya dia tidak terima diremehkan oleh Alex.

Mendengar nada bicara Alfred yang sombong, mata Alex langsung bersinar, sebuah ide yang cukup konyol melintas di kepalanya. "Kalo cuman ngomong, siapa aja bisa. Buktikan donk." Senyum sinis di wajah Alex terkembang. Mata dan alisnya terangkat seiring dengan dagunya yang diangkat dengan sikap menantang. Dalam hati dia sudah berniat mempermalukan Alfred.

Deg!

Jantung Alfred langsung berdebar kencang.

Tadi dia hanya bercanda saja dengan Alex. Tak disangkanya Alex akan menantangnya dengan tatapan meremehkan.

Untuk sesaat, Alfred bimbang. Haruskah dia menanggapi tantangan Alex dengan serius atau menganggapnya sebagai angin lalu. Bagaimana dengan Alex, apa dia serius atau hanya bercanda? Kalau dia serius dan Alfred menanggapinya dengan bercanda, bukannya hubungan mereka bisa menjadi aneh? Tapi kalau dia bercanda dan Alfred yang terlalu serius, sama saja dengan mempermalukan dirinya sendiri kan?

Keraguan yang terpancar di mata Alfred begitu nyata. Senyumnya yang tadinya penuh kepercayaan diri juga sudah memudar.

Alfred sudah pernah bersumpah, dia tak akan pernah mau mengulangi kebodohan yang sama lagi. Kebodohan yang dilakukan atas nama cinta. Hatinya terus berusaha mengingkarinya, tapi Alfred tahu, perlahan namun pasti dia sudah mulai mengulangi kebodohan yang sama. Dia sudah mulai menyukai Alex. Itulah sebabnya dia begitu terluka saat Alex memandangnya dengan hina.

Teringat kembali dengan sinisnya sikap Alex terhadap apa yang dilakukannya, tanpa terasa, denyutan nyeri yang tadi dirasakannya hadir kembali. Pada akhirnya Alfred hanya bisa menunduk sambil menjawab dengan suara lirih : "Lu benar. Gue cuman ngomong doank."

Tak mau melihat lebih lama tatapan mata Alex yang jelas-jelas mengejeknya, Alfred melarikan diri ke kamar mandi. Membersihkan dirinya dari keringat yang tadi membanjiri badannya sekaligus mendinginkan kepalanya. Membiarkan air membawa pergi perasaan-perasaan tak penting ini dari hatinya.

Alex agak kecewa saat Alfred lebih memilih menghindar dari tantangannya. Matanya memandangi pakaian Alfred yang masih berserakan karena Alfred tadi buru-buru ke kamar mandi. Hatinya sedikit terhibur saat melihat kepercayaan diri Alfred hancur.

Sebagian dari diri Alex membenci Alfred yang mengincar orang kaya demi hidup nyaman, sebagian lagi merasa tak rela jika Alfred harus menemani mereka hingga kelelahan seperti itu. Dua sisi yang cukup bertentangan ini membuatnya bingung dengan dirinya sendiri.

Kalau dipikir-pikir, Alex bisa peduli dengan orang lain saja sudah cukup aneh. Alex tak pernah mau tahu dengan hidup orang lain. Baginya, selama mereka tidak mengusiknya, maka dia tidak akan mengusik mereka. Dan selama ini Alfred juga tidak mengusiknya. Alfred tak pernah mendesaknya untuk menceritakan tentang dirinya. Malahan Alfred membuatnya merasa nyaman. Hal yang belum pernah dirasakannya sebelumnya.

Tapi setiap kali melihat Alfred pulang dari kegiatan malamnya, Alex selalu merasa tak suka. Atau mungkin lebih tepat bila dikatakan, jijik? Entahlah. Alex juga tak bisa menjelaskannya dengan pasti. Dan Alex juga tak mau repot-repot memikirkannya.

Saat mendengar suara pintu kamar yang terbuka setelah sekian lama, ---lebih dari setengah jam, Alex memilih berpura-pura tidur. Helaan napas lega terdengar dari Alfred yang mengiranya sudah tertidur. Suara langkah Alfred yang merapikan bajunya yang berantakan di lantai terdengar pelan, seolah takut membangunkan Alex yang sudah terlelap.

"Haaaa..." Lagi-lagi Alfred menghela nafas panjang, membebaskan beban berat yang mengimpit batinnya. Cukup lama dia duduk termenung di samping tempat tidur sebelum akhirnya membaringkan dirinya di samping Alex.

Malam itu malam yang amat panjang bagi mereka. Meski mata mereka terpejam, pikiran mereka mengembara hingga jauh, membuat mereka kesulitan beristirahat. 

Bagian 7, selesai.....

Sambung... (lama-lama wa bosen ama kata-kata ini... aihhh....)   

Rainy Night Encounter : Alex and AlfredTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang