Pergi atau Hadapi

50 4 0
                                    

"Pada kenyataannya pergi pun dia akan mendapatkanku. Namun memilih menghadapi, apa ini tidak terlalu dini?" [Lianscka MB]

***

Pagi ini aku terbangun dengan kondisi berbeda dari semalam, bagaimana tidak, aku ingat sekali kalau semalam aku tidak mengenakan apapun saat memutuskan menginap di rumah Albert. Tapi sekarang aku mengenakan piyama bergambar hello kity lengkap dengan pakaian dalamku. Siapa yang mengganti pakaianku?

Kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan, tak kutemukan keberadaan Albert sama sekali. Tapi... Wow, Albert ternyata tidak hanya membual saat menjanjikan semua gaun yang ada di dalam majalah pashion kemarin. Sekitar sepuluh paper bag tergeletak manis di atas sofa merah marun tempat Albert biasa membaca majalah bisnisnya.

Kubuka satu persatu paper bag bertuliskan label perancang busana terkenal itu. Tak ada yang menarik perhatianku hingga paper bag ke sembilan, sebuah gaun dengan model sederhana dengan motif bunga sedap malam dan berbahan sutra membuatku bersorak senang. Aku suka bunga sedap malam, bunga yang tak banyak orang suka. Aku aneh? Bukan, aku hanya tak suka yang mainstream.

Segera aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri kemudian mengenakan gaun berwarna tosca dengan motif bunga sedap malam tadi.

Setelah memoles make up tipis, tujuanku selanjutnya adalah menemukan Albert dan membuatnya terpana dengan penampilanku.

Baru saja aku keluar dari kamar, terdengar suara orang berbincang-bincang dari ruangan kerja Albert yang memang berada bersebelahan. Enggan mengganggu Albert dan tamunya, aku memilih mencari apa yang bisa kumakan di dapur.

"Hai Emma," sapaku pada seorang pengurus rumah Albert yang memang sudah kukenal.

"Oh, hai juga Nona. Saya baru saja selesai membuat macaroni scotel untuk tuan, Nona mau mencoba?" tawarnya yang kusambut dengan senang hati.

"Tentu, bagaimana bisa menolak masakanmu Emma. Kau koki terbaik yang pernah kukenal. Masakanmu tak pernah mengecewakan." Ujarku antusias.

Emma hanya terkekeh mendengar celotehku.

Aku tidak berbohong, Emma memang seorang koki yang handal. Tak pernah sekalipun masakannya yang tidak membuatku kalap hingga menghabiskan semuanya.

Sambil melahap macaroni scotel buatan Emma, aku meraih koran yang tergeletak di samping secangkir kopi yang kuasumsikan milik Albert. Namun saat melihat tanggal di koran aku mengernyit heran. Tanggal 12? Seingatku kemarin tanggal 10.

"Tanggal di koran ini," gumamku tanpa sadar.

"Kenapa, Nona?" Emma menatapku penuh tanya.

"Emma, kemarin kau dimana? Maksudku, aku tidak melihat kau bekerja kemarin."

Emma tersenyum malu, "Dua hari yang lalu saya izin pergi menginap di rumah calon suami saya, Nona. Dan baru masuk bekerja hari ini. Oh iya, Nona... Maaf, tadi pagi saat saya baru datang dan berniat membersihkan kamar tuan Albert, saya menemukan Nona tertidur di lantai dalam keadaan tidak berpakaian."

"Lalu?" tanyaku antara malu dan penasaran.

"Saya menelpon tuan,"

"Tunggu, kamu bilang menelpon Albert?"

"Benar, Nona. Apa Nona tidak tau kalau tuan menginap di rumah pacar Nona Anna?" Emma balik menyelidik.

"Oh, iya. Aku tau. Itu dua hari yang lalu, Emma. Berarti Albert menginap disana selama dua malam." simpulku.

Emma kembali melanjutkan pekerjaannya, meninggalkanku yang masih diliputi banyak pertanyaan dalam benakku.

Aku tertidur selama dua hari?
Benarkah?

Terus kugali ingatanku tentang semua yang terjadi dua hari ini tetapi nihil, aku tak mengingat apapun.

Tanggal sepuluh aku berkunjung kemari, disore harinya Albert bilang ia akan menginap di rumah Henry. Albert pergi dan aku tertidur?

Entahlah.

***

Semilir angin siang terasa sejuk di kulitku, daerah rumah Albert yang berada di pinggir kota memang membuat nyaman penghuninya, jauh dari kebisingan kota dan polusi udara.

Beberapa meter dariku, Albert memunguti ranting-ranting kecil yang berjatuhan dari pohon-pohon sekitar. Kegiatan aneh yang tak pernah bisa dicerna nalarku. Ia mengumpulkan ranting-ranting kecil, kemudian mengikatnya dengan bilangan ganjil.

Seperti yang sekarang diikatnya, ranting dengan jumlah sebelas batang. Itu bukan ketidak-sengajaan, Albert menghitungnya dengan cermat.

3,5.7,9 dan sebelas. Selalu berulang begitu.

"Albert, ranting-ranting itu untuk apa?" daripada mati penasaran lebih baik kutanyakan.

Albert menatapku sekilas, "Iseng?" katanya tak yakin.

"Kau memilih keisengan dan mengabaikanku?" tanyaku sengit.

Gila. Aku seperti sedang berkencan dengan orang sakit jiwa.

"Ada apa? Apa ini salah?" tanyanya tak merasa bersalah sama sekali.

Kuhentakkan kakiku keras, kemudian menendang sisa ranting yang belum Albert ikat.

"Hubungan kita berakhir Albert, aku muak dengan kau dan ranting-ranting bodohmu!" putusku tanpa berpikir apa-pun lagi.

Segera aku beranjak pergi kembali ke kamar Albert untuk mengambil barang-barangku, setelah itu berpamitan pada Emma.

"Aku pergi, Emma. Albert sudah tidak membutuhkan aku lagi." ujarku getir.

"Sayang sekali, Nona. Dari semua perempuan yang pernah dekat dengan tuan, saya lebih menyukaimu. Kau ramah."

"Mungkin kita bisa bertemu lain waktu, Emma. Tentunya tidak disini."

Emma memelukku sayang yang kubalas dengan hal yang sama. Kami memang belum lama saling mengenal, tapi Emma sudah seperti saudaraku sendiri. Bukan sedikit rahasiaku yang ia ketahui, tapi Emma tetap bersikap baik padaku.

Baru saja aku membuka pintu rumah Albert untuk keluar, seseorang--bukan, Albert maksudku--berada tepat di depan pintu.

"Mau kemana, Sayang?"

Deg!
Jantungku seakan berhenti berdetak.
Dia lagi.

Aku harus bagaimana?
Pergi atau hadapi?

Cast:

Sean O'pry as Albert Brixo
Coleen Garcia as Anna Brixo

One Last BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang