Pulau Hamolea

5 1 0
                                    

"Mereka menyebutnya Pulau Hamolea, yang dalam bahasa setempat artinya Pulau Pemujaan." [Fodor Elighsten]

***

Sudah hampir empat jam mereka berada di dalam mobil menyusuri jalanan yang seakan tak mempunyai ujung itu, Lianscka sudah tidak tahan lagi untuk bertanya kemana mereka akan pergi.

"Kita mau kemana? Aku lapar, bisakah kita cari tempat makan sebentar?" Keluhnya.

"Kita akan berlibur ke pulau keluargaku," sahut Fodor enteng.

Saat melewati food car Fodor menepikan mobilnya dan memesan tiga burger king dan dua cup kopi.

"Kau tidak bertanya aku mau apa," protes Lianscka kesal. Kebiasaan Fodor yang memutuskan segalanya tanpa mendengar pendapat orang lain adalah salah satu alasan gadis itu memutuskannya dulu.

"Nanti kalau kita sampai kau bisa makan apa saja yang kau mau, sekarang kurasa dua porsi burger sudah cukup untuk mengisi perutmu." Fodor lagi-lagi berkata seenaknya.

"Bagaimana dengan pakaianku?" Lianscka semakin kesal.

"Aku sudah menghubungi Amber untuk menyiapkan pakaianmu. Lagipula disana kau bahkan akan lebih betah mengenakan bikini saja." Jelas Fodor diakhiri dengan seringai aneh.

"Apa pantainya indah?" Gadis itu mulai tertarik.

Fodor mengangguk pasti. "Sangat!"

"Pulau apa namanya?" Lianscka semakin penasaran.

"Pulau Elighsten tentu saja," ujar Fodor terdengar sombong.

"Tidak pernah mendengar sebelumnya," cibir Lianscka.

"Kau tau, Pulau pribadi, untuk apa diketahui banyak orang? Lagipula disekitar sini yang selalu orang sebut hanyalah Pulau Hamolea."

Kali ini mobil mulai menyusuri jalanan kecil yang hanya bisa dilalui satu mobil. Fodor beberapa kali harus menginjak rem karena jalan yang mulai berlubang.

"Pulau Hamolea? Unik sekali namanya. Apa itu sejenis pulau pribadi juga?" Lianscka semakin berminat dengan percakapan mereka. Gadis itu memang tergila-gila dengan laut dan pantai berpasir putih.

"Mereka menyebutnya Pulau Hamolea, yang dalam bahasa setempat artinya Pulau Pemujaan. Tapi sayangnya tidak ada yang berminat memiliki Pulau itu." Jelas Fodor. Sesekali tangannya menekan klakson, mengusir beberapa kera yang berkeliaran di tengah jalan.

Lianscka sudah menghentikan keingintahuannya, jika Fodor bilang Pulau itu Pulau Pemujaan dan tak ada yang berminat memilikinya, mungkin memang benar Pulau itu angker.

Setelah cukup lama menyusuri jalanan sempit itu, akhirnya mereka menemukan jembatan yang berdiri kokoh membentang di atas laut. Fodor menambah kecepatan mobilnya, angin yang cukup kencang menerpa wajah mereka, Lianscka segera mengikat rambutnya agar tidak kusut diterpa angin.

"Apa jembatan penyebrangan ini keluargamu yang membuatnya?" Lianscka kembali mengorek informasi.

"Sayangnya bukan, jembatan ini dibuat oleh pemilik Pulau sebelum keluargaku."

Gadis itu mengangguk mengerti.

"Bersiaplah, di depan sana pulaunya." Ujar Fodor menunjuk sebuah pulau yang tidak terlalu besar di depan mereka.

Cukup indah.

Pasir putih menutupi bibir pantai, beberapa kelapa tumbuh subur menjulang. Lianscka meregangkan tubuhnya yang terasa kaku setelah melewati perjalanan yang cukup jauh. Matahari sudah mulai terbenam, meninggalkan cahaya jingga diufuk barat.

One Last BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang