prolog

104 5 0
                                    

Aku memandang diriku dicermin. Make up yang natural ini membuatku cantik dan aku masih merasa ini aku. Untungnya dia setuju aku di make up secara natural dan tidak berlebihan. Kebaya biru yang aku pakai membuat moodku menjadi lebih baik. Aku menarik napas panjang dan kututup mataku. Ingin rasanya aku tidak mengalami ini, well, sebenarnya ingin tapi tidak sekarang.

"Kau cantik Camelia. Cantik seperti ibumu." Ayahku memasuki ruangan dan memandangku.

Aku bisa melihat ayah menahan air matanya. Aku tersenyum walau tak lebar dan mengingat akan ibuku. Ayah mendekat ke arahku.

"Kau ingin hadir di ruangan itu sekarang atau nanti setelah ijab qabulnya selesai?"

Ayah membelai rambutku. Beliau tahu aku sekarang sedang bimbang. Kucium tangan ayahku. Sebentar lagi aku tidak bisa mencium tangannya sesering dahulu. Aku mungkin tidak akan serumah dengan ayah setelah pernikahan ini. Aku tak tahu apakah mencintainya atau tidak. Yang aku tahu aku suka dia entah itu suka seperti aku suka dengan temanku atau suka sebagai perempuan ke laki-laki. Pernikahan konyol yang diatur oleh kakeknya dan kakekku. Aku semakin gugup untuk keluar sekarang. Padahal yang hadir pada pernikahan ini hanya kerabat dekat Taka dan kerabat orang tuaku.

"Setelah ijab qabul saja Yah aku ke sana."

Kemudian, saat-saat yang menyeramkan bagiku datang, sekarang kami hanya berdua saja di kamar. Seluruh cerita dan nasihat dari semua orang tentang malam pertama berputar-putar dan menari-nari untuk mengejekku. Aku mencuri-curi pandang darinya, laki-laki yang selama ini lebih akrab aku lihat sosoknya di dinding kamar teman akrab Ayah. Laki-laki yang selalu dibicarakan dan dibanggakan oleh teman akrab Ayahku, laki-laki yang baru datang beberapa jam sebelum pernikahan kami. Laki-laki yang katanya akan membuat semua perempuan iri padaku akan ketampanan dan katanya harta warisan dari ibunya yang banyak. Laki-laki yang kini yang terdiam dan menatap dengan kekosongan. Laki-laki yang aku tak tahu kenapa dia mau menikahiku, aku bahkan tidak yakin dia menikah karena setuju dengan saran kakeknya.

Wajahnya masih sedatar tadi, tak ada senyuman ataupun tawa. Dia mendekatiku yang duduk di meja rias dan duduk di depanku. Bola matanya menatapku lurus, dari pandangannya aku tahu dia telah ada di sini. Aku hanya dapat terdiam dan menatapnya balik. Aku menantinya bicara atau dia menantiku bicara.

"Ok, kita tidak akan ada progress apapun bila hanya diam saja."

Progress? Progress apa? Dia bahkan tidak pernah mengatakan apapun rencana dan tidak berbicara apapun kecuali basa-basi. Aku tak tahu harus menjawab apa.

"Baiklah, aku akan jujur padamu dahulu, tapi kau juga harus mengatakan hal yang sebenarnya."

Aku mengangguk setuju dengan idenya.

"Aku menikah denganku karena..."


All MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang