Bab 6

36 5 1
                                    

Sesudah itu semuanya reda.
Musim mengendap di kaca jendela.
Tinggal ranting dan dedaunan kering.
Berserakan diatas ranjang.
Hening.

Waktu itu tengah malam.
Kau menangis.
Tapi ranjang mendengarkannya.
Suara mu sebagai nyanyian.

Tengah malam, 1989.
Joko Pinurbo.


Aku mengalah.
Mengalah pada jarak yang egois dan keras kepala. Tapi tak apa, semua akan baik-baik saja setelah pengakuan nya itu. Setelah apa yang ia ucapkan pada ku siang itu.

Tapi sekarang, mengantarkannya pergi pun masih terasa berat. Aku masih tak mau melepaskan tangan nya. Sampai pada waktunya tangan itu harus benar-benar kulepas. Sampai aku maupun dia berhenti didepan pintu kaca yang memisahkan dua anak manusia ini. Sampai dia benar-benar pergi. Jauh. sangat jauh. Sampai aku harus menabung rinduku untuk tiga tahun kedepan.

"Tunggu saya, saya pasti pulang." ucapnya lalu tersenyum.

Aku hanya menatap nya dalam. Mencari-cari kesakitan yang memang ada dalam matanya. Aku masih belum bisa. Belum terlalu kuat untuk membiarkannya pergi.

Dia lalu memelukku erat. Lebih erat dari sebelumnya. Aku benar-benar kesal dengan jarak yang membuat pelukan ini sebagai pelukan terakhir.

"Saya cinta kamu." ucapnya.

Lagi dan lagi. Aku semakin susah membiarkannya pergi setelah kalimat itu diucapkannya.

"Saya juga cinta kamu."

Aku mengeratkan pelukan. Merasakan air mataku jatuh terus menerus. Kemeja nya kubuat basah lagi.

"Kinan. Kan sudah janji tidak akan menangis lagi." kata nya.

Aku menguatkan seluruh tubuhku untuk bertanya satu hal dengannya. Satu hal yang dari dulu ingin kutanyakan.

"Lalu bagaimana dengan kita?" tanya ku.


"............"

"............"

"Asalkan kamu tetap mencintai saya, Kinan. Jika mencintai mu harus merasakan sakit, maka saya akan bertahan dan berusaha tidak akan mencari obatnya.."

Aku sudah benar-benar hilang kendali. Dia benar-benar kejam, tapi aku cinta dia.

Tuhan, aku maunya dia..

"Kalau saja air mata bisa dititipkan via jasa ekspedisi, Kinan pastikan mas Bait akan kebanjiran kiriman besok pagi."
Ucap ku.

Dia tertawa, mengusap puncak kepala ku lalu menciumnya.

"Sudah menangis nya?" tanya nya.

"Sudah. Capek nangis terus dari kemarin." kata ku.

"Ya sudah, selepas saya pergi, segeralah pulang. Saya sudah titipkan sesuatu dengan Bilal."

Aku hanya mengangguk. Memberi isyarat bahwa aku mengerti dengan apa yang diucapkannya.

Punya KinanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang