Bab 8

39 3 0
                                    

Sudah hampir dua tahun sejak kepergian Bait nun jauh disana. Aku rindu. Masih rindu. Belakangan ini dia hilang, terakhir dia bilang sedang sibuk mengerjakan tugas kuliahnya.
Aku masih ingat dengan jelas pesan-pesan yang kukirim pada pertengahan tahun waktu itu.

Kinanti Andira:
Hallo. jika kabarmu kurang baik, tak apa, akan kukirim pesan besok pagi-pagi sekali.

Kinanti Andira:
Sebanyak apapun urusanmu, kuharap makan tetap jadi prioritas mu disana.

Kinanti Andiri:
Aku rindu. Sudah. Cuma mau bilang itu saja.

Kinanti Andira:
Aku nggak tau mas bait sedang apa, tapi kuharap mas bait baik-baik saja.

Kinanti Andira:
Kalau kata orang menunggu itu sakit, maka aku setuju sekali.


Tapi aku mengerti. Memang akan begitu terjadinya.

Dan disini, selain Binta, aku punya teman baru. Siapa lagi kalau bukan Raja. Anak nakal yang kalau kesekolah nggak pernah bawa buku. Kalau ditentang malah melawan, apalagi dengan guru BK. Kalau belajar nggak pernah dikelas. Kecuali jam olahraga. Tapi selalu dapat ranking pertama. Ajaib!
.
.
.
.
.
Sekarang hari rabu, dan aku senang sekali. Karena satu harian ini, guru-guru rapat untuk membicarakan masalah ujian nasional yang sudah didepan mata.

Seperti yang sudah-sudah, aku hanya duduk di koridor, main game, mendengarkan lagu, makan, tidur, diulang terus hingga bel pulang berbunyi.

Hari ini aku rindu. Seperti yang sudah-sudah. Kalian tau siapa? Ya, Bait. Tolong bilang kan padanya, kalau Kinan rindu Bait. Dan dia harus cepat-cepat pulang ke Indonesia, Kinan mau peluk. Jangan lupa ya!

"Sudah makan?"

Ucap seseorang yang senangnya mengejutkan. Raja. Siapa lagi kalau bukan dia.

"Eh, kaget. Sudah." kataku.

"Saya nanya kemarin."

"Hah?"

"Kemarin sudah makan?" katanya.

"Ih!"

"Hahaha.." ucapnya yang lalu mengacak- acak rambutku.

"Eh. Orang tua mu datang?" tanyaku.

Memang. Rapat kali ini harus didatangi orang tua - orang tua murid yang diwajibkan mendengarkan langsung apa yang diberitakan oleh kepala sekolah.

"Datang. Bunda." ucap raja.

"Oh."

"Nanti pulang sama saya kan?" ucapnya.

"Nggak usah. Antar bundamu aja. Aku bisa naik metro mini." ucapku menatapnya yang sedikit mengulum senyuman.

"Bunda bisa dijemput ayah, pokoknya pulang bareng saya." katanya.

"Dasar durhaka! Nggak boleh. Aku juga nggak mau diantar kamu." ucapku menentangnya.

"Ya sudah" katanya seraya mengangkat kedua bahunya.

Berangkat sekolah bareng, pulang bareng, nggak punya prinsipil! Memang aku adikmu yang harus diantar jemput setiap hari? Tidak kan?

"Nanti kalau sudah lulus, kamu mau kuliah dimana?" tanyaku.

"Dimana sajalah. Universitas nggak cuma satu juga." katanya.

Memang susah sekali bicara dengan mu, Raja. Bisa nggak sekali saja keluar dari duniamu itu?

"Terserahmu lah!" ucapku yang lalu melanjutkan permainan yang sedang kumainkan tadi.

Punya KinanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang