satu

89 1 0
                                    

Gadis remaja itu memasuki rumahnya yang sudah tujuh belas tahun ia tinggali bersama keluarganya dan keluarga kecil kakaknya saat azan isya baru selesai berkumandang. Menyalami Ibunya yang baru keluar dari kamar mandi sambil menenteng sepatu dan kaos kakinya.

"Ma, ntar malem Ara mau belanja keperluan bulanan ya."

Deara Fachrizal, gadis cantik yang baru saja naik ke kelas 3 SMA terkekeh kecil melihat Ibunya yang kaget. "nggak bisa besok? Udah malem, Ra." ucapnya khawatir.

"bisa kok. Tapi besok Ara nggak mau kemana-mana, pengen leha-leha aja mumpung libur. Yaudah Ara mandi dulu ya abis itu langsung caw." Ara terkekeh kecil. Ibunya menatap Ara tajam. "makan dulu baru berangkat."

Ara menghela napasnya pelan. "iya, Mama." Kemudian masuk ke dalam kamarnya.

Ara pamit pada Ibu dan kakaknya yang sedang duduk di sofa ruang keluarga setelah selesai makan. Menyalakan motor mathicnya lalu tancap gas ke sebuah swalayan untuk belanja bulanan untuk dirinya sendiri. Karena jika nitip ke orangtuanya, Ibunya nggak tahu apa yang dibutuhkannya. Jadi pilihannya Ara akan membelanjakannya sendiri.

Dari jauh terlihat beberapa motor dan mobil seperti memutar balik arah dan hanya sedikit motor yang masih melaju ke depan sana. Ara berpikir apa yang sedang terjadi disana. Tak berapa lama suara-suara teriakan terdengar dari kejauhan. Bukan teriakan ketakuatan, tetapi teriakan kata-kata kasar yang saling bersahutan. Ara mengernyitkan dahinya lalu membelokkan stang motornya ke arah pom bensin.

Ara melihat beberapa orang berlari-larian sambil membawa balok panjang di seberang jalan. Jantung Ara berdetak cepat. Tangannya terasa kaku dan berkeringat dingin. "ya Allah... gimana ini? kenapa ada tawuran?" ucapnya panik. Walaupun arah jalan Ara pulang nggak kena dampak tawuran, tetap saja nggak mungkin ia kembali pulang karena sudah jauh. Kalaupun lanjut ke swalayan pun nggak mungkin juga karena tawurannya ada di arah menuju swalayan itu. Ara terlihat berpikir keras. Ia bimbang memilih yang mana. Tapi Ara sudah terlanjur ada disini.

Di depan Ara ada sebuah motor yang berani belok ke jalan menuju swalayan yang dituju Ara. Tentu saja karena orang itu laki-laki. Ara berpikir perempuan sepertinya juga pasti bisa, asal ngebut aja. Jadi, dengan bodohnya Ara mengikuti laki-laki itu berbelok ke kiri. Dengan was-was Ara mengendarai motornya cukup kencang agar cepat berlalu dari tawuran itu. Tiba-tiba batu besar menghantam kakinya.

"Astagfirullah!!" Ara mengerem motornya tiba-tiba lalu memegang betisnya yang nyut-nyutan. "ya Allah ... sakit ..." Gadis itu meringis. Tanpa sadar setetes air matanya jatuh. Ia membuka helmnya dan mematikan mesin motornya. Mengusap-usap kakinya sambil menahan isakannya hingga sebuah batu kembali menghantamnya. Mengenai keningnya. Kepalanya berdenyut sakit dan rasa pusing menjalar. Semua tubuhnya terasa sakit dan rasanya ingin pingsan saat seseorang menarik tangannya.

"ayo cepetan! Lo mau kena batu lagi, hah?!" Orang itu teriak saat Ara berlari begitu lamban. Ara nggak bisa jawab apa-apa.

Cowok itu berlari memasuki sebuah gang sempit. Terus berlari ke dalam hingga cowok itu berbelok ke kiri dan berhenti dibalik tembok rumah warga. Ia menarik tangan Ara dan mendorong tubuhnya hingga membentur tembok. Tempat ini lebih lebar tapi minim cahaya karena mereka berlindung di balik tembok rumah kosong. Cowok itu berdiri di hadapan Ara sambil sesekali melirik ke arah mereka lari tadi. Keduanya terlihat mengatur napasnya.

"lo ... hahh ... lo ... siap—pa?" ucap Ara terbata.

"ssstt ..." Cowok di hadapannya meletakkan tulunjuknya di depan mulut, kemudian melirik ke tempat tadi lagi. Dari kejauhan terdengar suara orang-orang sedang berlari. Suara itu makin dekat seiring dengan mendekatnya tubuh cowok itu pada Ara. "gue pus—" sebuah tangan besar membekap mulut Ara.

Suara yang berlarian itu sudah ada di dekat mereka, lalu terlihatlah orang-orang yang berlarian melewati mereka tanpa sedikit pun menengok ke tempat mereka berada. Ara sedikit bersyukur karena kalau mereka jahat, seenggaknya Ara selamat. Orang-orang itu sudah menjauh, dan Ara ingin melepas tangan yang membekapnya ketika ada suara yang berlarian mendekat ke arah mereka lagi. Ara menahan napasnya sambil berdoa di dalam hati semoga ia selamat lagi.

Napas cowok dihadapannya naik-turun, terlihat bahwa ia juga sedang panik. Tanpa disangka-sangka tangannya yang membekap mulut Ara dilepas lalu berpindah ke pinggang Ara. Menarik tubuh Ara lalu membawanya ke dekapan cowok itu. Tangan satunya lagi dipakai untuk menarik kepala Ara hingga bersandar di dadanya kemudian sedikit bergeser lebih dalam ke arah rumah kosong tersebut. Ara semakin nggak bisa napas, tubuhnya menegang dan kepalanya sangat berat. Darah dikeningnya terus mengucur.

"tahan sebentar lagi," bisik cowok ini. Pelukannya semakin mengerat saat orang-orang itu berhenti tepat di balik tembok ini. Napasnya berhembus kencang mengenai leher Ara yang terbuka.

Orang-orang itu terdengar sedang berbicara, "Saya belok kanan, kamu lurus. Setelah dapat anak-anaknya langsung dibawa saja ke pertigaan jalan sana. Berhati-hatilah, mereka membawa senjata tajam." Lalu terdengar tapak kaki yang berlari menjauh. Tak lama pandangan Ara buram dan gelap.

****


RunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang