Gadis itu mendesis pelan merasakan kepalanya yang sangat berat, belum lagi sakit pada luka di kepala dan betisnya. Oh ya apa kabar betisnya? Pasti kakinya sudah membiru dan bengkak jadi Ara nggak bisa jalan. Pulang nanti Ara akan langsung memanggil tukang urut.
Ara kaget sekali melihat dirinya ada di ruangan yang sangat asing. Bukan rumahnya ataupun rumah sakit. Saat hendak bangun, bahunya ditahan seseorang. Menoleh ke samping dan mendapati seorang cowok sedang duduk di kursi samping kepalanya. Rumah dia? Pikir Ara.
"lo ada di rumah gue. Gue baru aja selesai ngobatin lo, dan tulang kaki lo agak retak jadi jangan gerak-gerak dulu" ujar cowok di sampingnya seperti menjawab pertanyaannya. Mata Ara membulat. Lalu bagaimana ia bisa pulang? "lo nginep disini aja dulu. Besok gue anterin. Di jalan masih rame sama polisi dan anak-anak tawuran. Lo nggak perlu khawatir." Gadis itu semakin membulatkan matanya. Nggak mungkin tidur di rumah orang asing apalagi orang itu laki-laki. Ah ya, tawuran. Kejadian itu yang membuat Ara kayak gini. Bagaimana dengan nasib motornya?
"udah gue bilang nggak usah khawatir. Meski motor lo pasti kenapa-napa, tapi ikhlasin aja. Namanya juga tawuran." Cowok itu memutar matanya lalu berdiri meninggalkan Ara sendirian di kamar.
Cowok itu datang kembali dengan segelas air dan beberapa obat saat Ara melamunkan nasibnya, nasib motornya, dan wajah khawatir ibunya. "nih minum."
"nama lo siapa?" Ara menatap cowok tampan di sebelahnya ini lalu meminum obatnya.
"Juan," jawabnya singkat. Ara manggut-manggut. "emangnya nggak ada jalan lain yang bisa dilewatin ya? Gue pengen pulang," tanya Ara yang dibalas gelengan dari Juan.
"di depan masih banyak polisi dan gue nggak mau ketangkep," jawab Juan yang sukses buat Ara menganga. "jadi ... lo juga ikut tawuran?"
"hm."
"dan tawurannya itu di depan rumah lo?"
"tepatnya di depan gang. Yang tawuran masih anak-anak deket rumah."
Ara menggelengkan kepalanya tak percaya. "tapi kenapa lo nyelametin gue?"
"karena gue kesel ngeliat lo malah diem di tengah-tengah orang yang lagi tawuran sambil mijit kaki, kayak orang bego. Tapi gue juga sekalian pengen kabur dari kejaran polisi sih."
Nggak ada percakapan lagi diantara mereka. Dua-duanya terdiam cukup lama hingga Ara memilih tidur karena kepalanya kembali pusing. "kalo lo butuh apa-apa tinggal teriak aja. Gue tidur di depan."
"orang tua lo gimana?"
"kenapa emang?"
Ara menunduk memilin kedua jemarinya. "mereka nggak curiga ada cewek tidur di kamar lo?" tanya Ara ragu.
"mereka pergi dan mereka nggak akan peduli," ucapnya dingin lalu menyelimuti Ara dan keluar kamar.
****
"stop. Berenti sini aja, rumah gue di depan" Ara menyuruh Juan menghentikan mobilnya satu rumah sebelum rumah Ara. Ia nggak mau keluarganya berpikir macam-macam sebelum Ara menjelaskannya. Tadi pagi Juan bilang bahwa sebelum Ara sadar dari pingsannya, Juan sudah mengirim pesan menggunakan ponselnya pada Ibunya bahwa Ara menginap di rumah temannya karena urusan mendadak. Tentu saja itu bohong. Tapi Ibunya percaya karena ia bilang menginap di rumah sahabat perempuannya.
Ara membuka pintu mobil di sampingnya saat suara Juan mengehentikannya. "lo yakin bisa sendiri? Kaki lo masih sakit gitu" tanyanya khawatir.
Ara tersenyum tipis lalu mengangguk. "iya gue bisa. sebelumnya juga gue pernah kayak gini, tapi nggak separah ini sih"
Juan memandang Ara yang terkekeh. Ada sebersit perasaan aneh yang belum bisa ia tebak. Namun langsung diabaikannya.
"oh ya, nama lo siapa?"
"jadi, dari kemaren lo ketemu sama gue lo belom tau siapa nama gue?" juan menggeleng. "ya Allah ... ada ya orang kayak gitu?" tanya Ara lebih pada dirinya sendiri. "nama gue Deara Fachrizal. Panggil aja Ara."
Juan hanya manggut-manggut lalu mengalihkan pandangannya ke depan. Mengira nggak ada yang ingin dibicarakan lagi oleh Juan, Ara segera turun. "sorry." Suara Juan kembali terdengar. Ara menoleh, pandangan Juan masih ke depan. "buat apa?"
"buat kesalahan gue yang udah nggak sengaja ngelempar batu ke kaki lo. Gara-gara gue lo nggak bisa jalan."
Ara kaget. Ia nggak nyangka kalau yang membuat kakinya seperti ini adalah orang yang mengobatinya juga. Ingin marah tapi percuma, toh namanya juga tawuran. Mana ada yang tahu batu yang dilemparnya mengenai Ara. Ia menghembuskan napasnya pelan. "gapapa." lirih Ara.
"gapapa, kok. Namanya juga tawuran. Mana ada yang tau batu lo kena gue? Lagian gue juga dapet untungnya kok dari musibah ini," ucap Ara lagi yang mampu membuat Juan menoleh dan menampakkan wajah bingungnya. "iya, seriusan. Gara-gara kena dampak tawuran, temen gue jadi nambah."
Ara menunjuk Juan yang masih bingung. "mulai sekarang lo jadi temen gue."
"emang gue mau?" Alis Juan terangkat sebelah dan bibirnya menyeringai jahil.
"harus mau." Ara mengangguk. "kalo tetep nggak mau juga gapapa, gua bakal nganggep lo temen gue." Gadis itu tersenyum manis, membuat Juan sedikit gelagapan.
Juan mendengus geli setelahnya, kemudian membalas, "segitu pengennya ya lo jadi temen gue."
"terserah apa kata lo aja, deh." Ara memutar matanya. "yaudah gue balik ya, Juan. Makasih buat semuanya." Sekali lagi Ara tersenyum pada Juan. "jangan tawuran lagi ya. Sekarang lo udah tau kan apa akibat dari perbuatan lo ini. Bisa jadi korban lo bakal lebih parah lagi dari gue kalo lo masih ikutan tawuran juga." Setelah itu Ara menutup pintu mobil bekas dirinya keluar. Juan termenung memikirkan kata-kata Ara barusan. Benar juga kata Ara. Tapi ia nggak bisa berhenti begitu saja. Banyak alasan yang membuat Juan untuk tetap melakukannya.
Ara terlihat sangat kesulitan berjalan. Masih setengah jalan lagi untuk bisa sampai ke gerbangnya. Tapi kata-kata Ara tadi membuat Juan nggak bisa turun menolong Ara.
Dan sekarang Juan tahu perasaan apa itu.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Run
Short StoryLari Aku hanya ingin lari, karena keadaanku tidak memungkinkanku untuk bertahan. 28 Oktober 2016 By Inna