Tangisan Neta makin menjadi di dalam kamarnya. Tangannya terus digenggam Ara yang juga terus berusaha menenangkannya.
"Ara, maafin anak tante ya. Juan udah ngecewain kamu. Ini semua salah tante dan Papanya Juan yang nggak bisa ngurus Juan dengan baik. Tante dan Papanya Juan selalu sibuk dengan urusan kami masing-masing sehingga nggak ada waktu untuk memantau perkembangan Juan. Akibatnya, Juan jadi salah bergaul, selalu menentang orangtuanya, dan selalu membuat masalah. Tapi, tante tau bahwa Juan selalu menyayangi kami walaupun tidak pernah menunjukkannya," jeda Neta. "tante nggak nyangka Juan bisa ngelakuin itu. Mungkin dia frustasi setelah perceraian kami, sehingga ia mabuk-mabukkan dan ... " suara Neta tercekat. Nggak mampu meneruskan ucapannya dan sukses membuat dadanya kembali sakit.
Mabuk-mabukkan?
Ara tidak mampu berkata. Ia tertawa pelan, nggak mau mengganggu Neta yang masih menangis kencang. Tawanya berubah menjadi sumbang kemudian kekehan sinis. Lucu. Ini semua terlihat lucu di hadapan Ara. Semuanya serba drama layaknya ia sedang bermain sinetron yang sering ditonton Ibunya ketika malam menjelang.
Ara kira ia akan menjalani sebuah hubungan seperti harapannya. Menemukan pasangan yang pas lalu menikah dan memiliki anak yang cantik dan tampan dan hidup bahagia selamanya. Namun, ternyata itu semua hanya terjadi dalam dongeng. Ingin rasanya Ara tertawa keras-keras, menertawakan impiannya yang seperti anak kecil. Bodoh, kenapa baru sekarang ia menyadarinya?
Ternyata realita nggak selalu sesuai ekspektasi.
Keinginannya untuk tertawa keras-keras—walau berusaha ia tahan—terlihat oleh Neta yang sudah meredakan tangisnya entah sejak kapan. Ia menatap Ara dengan hati miris. Neta sudah sangat menyayangi Ara seperti anaknya sendiri dan berharap anaknya akan berakhir dengan gadis cantik sepertinya.
"Ara ..." Seseorang memanggilnya dari luar. Siapa lagi kalau bukan Juan? Karena hanya mereka bertiga—tambah Mila jika belum pulang—yang berada di dalam rumah.
Ara mendongak, mendapati Juan sedang menatapnya nanar. Hah, seharusnya Ara-lah yang pantas memamerkan tatapan itu.
"bisa ngomong sebentar? di luar."
Tanpa mengucapkan apapun, Ara langsung melangkah keluar melewati Juan yang termangu dengan sikap Ara. Ia pun menyusulnya lalu mengikuti Ara ke dapur. Mungkin Ara berpikir dapur adalah tempat terjauh dari kamar Neta yang langsung disetujui Juan.
"Ra, aku mohon kamu dengerin penjelasan aku. Jangan dipotong dan jangan kemana-mana dulu, sebelum aku selesai. Setelah aku selesai, terserah kamu mau ngapain."
"Cih, udah ketauan bejatnya aja masih nyuruh-nyuruh," ucap Ara sarkas yang mampu membuat Juan terkejut karena kata-kata kasar yang baru pertama ini Ara mengatakannya langsung di depannya. "yaudah, cepet jelasin. Biar gue bisa langsung nentuin mau ngapain setelahnya."
Juan mengangguk. Menghela napasanya sebelum memulai. "Mama dan Papa cerai tanpa minta pendapat aku, menanyakan ingin hak asuh siapa pun tidak. Papa yang memang sering pulang telat dan setahun terakhir suka berantem dengan Mama bikin aku muak ada di rumah. Aku sering keluyuran malem-malem tanpa bikin kamu curiga. Ke rumah temen, main PS, warnet—kemana aja asal nggak di rumah. Berangkat malem pulang pagi. Di sekolah pun aku udah nggak bener, sering tidur pas jam pelajaran, bolos pelajaran Cuma buat pengen ngerokok—nenangin diri. Bahkan suatu malam, aku hampir 'make', kamu tahu? Tapi, aku bersyukur itu nggak terjadi karena aku masih inget Tuhan, Ra. Aku masih inget Mama dan kamu, perempuan-perempuan yang aku sayangi, Ara yang selalu ingin aku lindungi sampai kapan pun, tapi aku nggak bisa ngelindungin diri sendiri. Nggak jadi 'make', aku malah mabuk-mabukkan sampe tepar. Dan ..." tiba-tiba napasnya tercekat. Ia tidak sanggup meneruskan, tapi Ara perlu tahu kejelasannya. Gadis itu perlu tahu kenapa Mila bisa sampai datang dengan membawa berita kehamilannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Run
Short StoryLari Aku hanya ingin lari, karena keadaanku tidak memungkinkanku untuk bertahan. 28 Oktober 2016 By Inna