empat

36 0 0
                                    

"hey, udah lama nunggu?"

"hm," jawab seorang gadis enggan. Gadis itu tersenyum ketika cowok dihadapannya tersenyum menggodanya. "jujur banget, sih, pacar gue?" cowok itu tertawa.

"iyalah, kan jadi orang tuh harus jujur, Juan." Gadis itu membalas tak mau kalah. Ara, gadis yang sedang bersama cowok yang dipanggilnya Juan itu memberikan senyum jahilnya.

Sejak kebersamaan mereka selama dua bulan lebih membuat Ara yakin untuk membalas perasaan Juan yang sempat diutarakan cowok itu waktu itu. Ara juga semakin yakin bahwa Juan nggak main-main dengan perasaannya membuat Ara menerimanya.

"makasih ya tumpangannya."

"tumpangan apaan? Ini emang udah kewajiban gue kali buat nganter jemput lo."

"iya gue tau. Tapi gua nggak mau bikin lo seakan-akan kayak ojek gue."

"siapa yang jadi ojek? Gue kan pacar lo?"

Ara memutar matanya lalu mendengus. Nggak mau memandang wajah Juan yang sedang menatapnya menyebalkan.

Juan terkekeh geli. Tangannya menyentuh wajah Ara lalu membawanya menatap dirinya. "yaudah, gue pulang dulu ya. Jangan lupa nanti malem," ucapnya lembut sontak membuat Ara tersenyum. Gadis itu mengangguk lalu melambaikan tangannya saat motor Juan melaju menjauhi pelataran rumahnya.

****

"Juan, udah berapa bulan kita pacaran?"

"emang kita pacaran ya?" Juan memadang wajah Ara bingung.

Ara cemberut, membuang wajahnya ke samping. Terdengar tawa kecil dari bibir Juan. "baper, ih," ledek Juan. " 7 bulan. Emang kenapa?"

Ara mengendikan bahu. "nggak. Nanya aja."

"masih ngambek?"

Ara menggeleng.

"marah?"

Ara mendengus. "sama aja," cetusnya.

"trus kenapa dong? Daritadi nggak mau liat gue terus," decak Juan frustasi.

"kesel." Sontak tawa Juan menyembur. Tawanya nggak bisa berhenti. Bahkan hingga ia memegang perutnya.

Ara diam. Ia membiarkan Juan menertawakannya sepuasnya di sampingnya, jika itu mampu membuat Ara tenang saat kesedihan tiba-tiba menghampiri. Ara jadi teringat kejadian minggu lalu saat dirinya melihat Juan membonceng gadis lain. Namun, Ara mencoba menepisnya dan berusaha berpikir positif.

Mungkin temannya ... atau saudaranya? Pikir Ara.

Entahlah, yang pasti itu sedikit membuat Ara sesak.

Lamunannya diiterupsi oleh sebuah tangan yang bersandar di bahunya. "kenapa?" tanya Juan.

Ara menoleh kemudian menggeleng lagi. "nggak apa-apa, kok."

"yakin?"

"hm," Ara mengangguk.

"yaudah pulang aja yuk?" Ara dan Juan pergi meninggalkan tempat saksi biksu Juan menyatakan cintanya dan juga tempat Ara menerimanya. Pemandangan yang nggak akan pernah luput dari ingatan Ara. Tanpa gadis itu sadari, Ara telah menobatkan tempat itu sebagai tempat singgahnya kala sedih melanda ... disuatu saat nanti.

****

Ara tersenyum pada seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah Ibunda Juan. Hampir satu tahun menjalin hubungan dengan Juan, membuat Ara semakin dekat dengan Neta, Ibu Juan. Kebiasaan yang sama yaitu membaca, mengakibatkan keduanya sering bertemu bahkan pergi bersama walaupun nggak bersama Juan.

"Juan kemana, tante?"

"hm? Oh, Juan lagi nginep di rumah temennya," jawab Neta yang sedang memotong sayuran.

"belum pulang, tante?"

"Iya, belum. Katanya tugasnya belum selesai."

"aku curiga, tante. Itu tugasnya yang belum selesai, atau main PS-nya yang belum selesai?" Ara membalas.

Neta tergelak. "oh iya ya? Tante nggak kepikiran." Setelahnya mereka berdua tertawa dan membicarakan Juan yang lebih didominasi ibunya sendiri.

Obrolan mereka terhenti saat pintu terbuka memunculkan Juan dengan pakaian lusuh dan muka yang kusut. "hey," sapa Ara sambil tersenyum lebar.

Juan tersenyum tipis. "hai," balas Juan seadanya.

Mata Ara menyipit. Seperti ada yang berbeda dengan Juan. Baru saja ingin bertanya, Juan sudah masuk ke kamarnya tanpa berbicara lagi.

"kenapa, tuh, anak?"

"nggak tau, Tante. Mungkin capek." Tapi pikiran Ara masih mengganjal.

Jelang makan malam, Juan baru keluar dari kamarnya. Wajahnya terlihat lebih segar dari tadi siang.

"kamu nggak pulang?" tiba-tiba saja Juan bertanya seperti itu pada Ara yang sedang melahap makanannya.

Ara sedikit tersentak. Walaupun suara Juan tetap tenang, tapi Ara menangkap nada sedih, frustasi, dan bersalah dalam suaranya. "nanti abis makan, tanggung." Ara tersenyum kikuk.

"bukan, maksudnya kamu daritadi siang disini tapi jam segini belum pulang juga? 'kan kasian kamunya."

"memangnya kenapa? Kan, aku udah biasa pulang malem kalo abis dari rumah kamu?"

"tapi sekarang aku nggak bisa nganterin kamu pulang. Tugasku masih banyak dan aku lagi nggak enak badan."

"oh, gitu ... yaudah nanti aku pulang naik angkot aja." Ara menunduk lesu.

"kok, naik angkot? Kan, masih ada tante disini? Biar tante yang nganter kamu," jawab Neta langsung. Menatap heran pada pacar anak semata wayangnya.

Ara menutup mulutnya kembali saat ingin berbicara tapi langsung dipotong Juan. "nggak usah, Ma. Biar Ara pulang sendiri aja. Belum terlalu malem juga," ucapnya tenang. Kepalanya sedikit menunduk menghindari tatapan Ara yang seakan menusuknya.

"kok, kamu gitu sih ngomongnya Juan? Kamu kenapa? Kok kamu jadi kasar sama Ara?" Neta terlihat marah terhadap Juan yang bebeda hari ini.

"aku nggak kasar sa—"

"udah nggak apa-apa, tante. Ara bisa pulang sendiri. Bener kata Juan belum terlalu malem. Jadi habis makan malem Ara langsung pulang aja," potong Ara.

"tapi—" Ara mengangguk meyakinkan Neta bahwa ia baik-baik saja.

Selesai makan malam, Ara menepati ucapannya. Sedangkan Juan, cowok itu langsung masuk ke kamarnya tanpa mengucapkan apapun pada Ara.

Mungkin Juan memang lagi banyak tugas, pikir Ara positif. Tapi nggak bisa dipungkiri dirinya merasa takut sesuatu sedang terjadi.

****

RunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang