Angin berhembus sangat kencang. Awan di langit menampakkan wajah jeleknya dengan semua bagiannya berwarna hitam. Sebentar lagi hujan. Tak lama setitik air pun turun membasahi tanah-tanah di bumi yang menjadi sasaran si awan hitam kali ini.
Gadis itu berlari menjauhi tempat terbuka dan berteduh di bawah saung depan warung. Nggak hanya dirinya, banyak juga yang ikut berteduh.
Setelah reda, ia kembali berlari meninggalkan warung menuju halte bus sambil sesekali menatap was-was ke belakang. Merasa ada yang mengikuti, dengan segera ia menaiki bus yang baru saja berhenti di depannya tanpa menoleh ke belakang lagi.
Gadis itu adalah Ara. Gadis yang sepuluh tahun lalu dibuang oleh keluarganya sendiri karena dianggap pembawa sial, anak yang nggak diinginkan dan sebagainya. Luntang-lantung dijalan selama dua hari hingga ada seorang pria dewasa berumur sekitar 40 tahunan menawarinya roti dan berlanjut hingga menceritakan masalah pribadi. Ara yang masih remaja nggak terlalu peduli menceritakan penyebabnya ia bisa berada di jalanan, toh, ia sudah kepalang menggelandang sehingga sekali pun bapak-bapak itu meninggalkan dengan kesan ngeri, Ara sudah siap. Sangat siap.
Namun, sekali lagi, realita nggak selalu sesuai ekspektasi.
Bapak-bapak itu menawarinya tinggal bersama. Tinggal bersama keluarganya: istri dan anak-anaknya, yang akhirnya menjadi kakak-kakak tirinya. Keluarga yang hangat dan harmonis. Keluarga yang diharapkan Ara sebelum ia dibuang. Nggak ada keirian dari saudara-saudara tirinya ketika ia terlalu dimanja oleh kedua orangtuanya. Nggak ada diskriminasi. Ara menyukainya dan betah tinggal bersama mereka.
Traumatisnya terhadap kehidupannya dulu membuatnya kadang bersikap defensi secara nggak sadar sebagai bentuk pertahanan diri. Teman-temannya melihatnya ngeri, menjauhinya, dan mulai menyalahkannya karena nggak berguna menjadi teman. Apalagi ketika temannya meminjam uang disaat dia sedang kesulitan dan Ara nggak berani meminjamkannya karena uang itu bukanlah uangnya. Ara sadar posisinya. Namun, teman-temannya salah mengartikan dan menuduhnya pelit. Lalu tuduhan demi tuduhan sering datang hingga berakhir pembullyan. Dijauhi orang-orang membuatnya sendirian dan kesepian bila diluar rumah. Ia mulai mengobrol dan tertawa sendiri. Namun sungguh itu semua diluar kesadaran Ara sendiri.
Orang-orang mulai mengecapnya gila. Orang tua angkatnya mulai memeriksakannya ke rumah sakit dan Ara didiagnosis memiliki masalah terhadap mentalnya akibat trauma yang belum tersembuhkan. Dia menjadi seseorang yang suka menyendiri saat sendirian dan berpura-pura riang jika sedang bersama keluarganya. Suka berjalan-jalan sendiri hingga pulang tengah malam. Pikirannya menumpuk dan bebannya bertambah berat dipundaknya.
Awalnya Ara ingin mati saja bila ia harus dipaksa hidup seperti ini. Dirinya nggak berguna bagi keluarga barunya, ia hanya menyusahkan mereka dan menghambur-hamburkan uang untuknya berobat. Kemudian kesadaran menyentaknya. Menyadarkannya bahwa bunuh diri bukanlah hal baik, jadi yang dilakukannya adalah tetap melanjutkan hidupnya dalam kegamangan.
Ia tetap menikmati hidupnya. Sebagai orang gila. Ia nggak akan mengatakannya secara langsung, tapi membiarkan mereka mengetahuinya sendiri sebelum perlahan-lahan menjauh dan Ara sendirian lagi. Berpindah-pindah sekolah jika teman-temannya mulai tahu keadaan dirinya.
Terus seperti itu hingga ...
Kecelakaannya dengan Juan membuatnya seperti ada pelangi di hidupnya, walau tipis tapi Ara senang. Dengan Juan, Ara bisa melakukan hal apapun dengan bebas. Bisa mengutarakan pendapatnya dan dapat didengar orang lain, bisa tertawa lepas, dan bisa memamerkan ekspresi wajahnya yang beragam. Juan sangat menyukai itu.
Namun, sesuatu hal itu menyentaknya kembali bahwa ia bukan tinggal di dunia dongeng. Ia nggak bisa merasa bahagia terus. Ada kalanya ia akan kehilangan kebahagian itu.
Kini, setelah delapan tahun lamanya Ara tinggal di kota orang. Awalnya kabur, namun rasa sayang yang tinggi dari keluarga itu pada Ara membuat mereka dapat menemukan Ara lalu mulai pengobatannya –yang sempat ditunda karena Ara yang minta—dari awal lagi. Sekarang, Ara merasa hidup kembali. Ia merasa bisa bernapas kembali, seolah ia baru saja bangkit dari kematian. Hal yang Ara pikir nggak bisa disembuhkan ternyata berhasil.
Kembali ke masa sekarang. Ara menatap jendela bus yang mulai berjalan di sampingnya. Melihat hujan yang mulai turun lagi, mengingatkannya pada Juan dan kisah-kisah manis kala hujan datang.
Ia merasakan bangku sebelahnya terisi oleh seseorang. Lengan seseorang itu menempel dengan lengan kanannya. Ara nggak merasa terganggu hingga sesuatu menyentaknya karena tangannya digenggam oleh orang disampignya. Kepalanya menyentak kesamping dan saat itu juga udara di sekitarnya terasa senyap. Mata melebar, sangking lebarnya orang di sampingnya terkekeh geli karena sangking lucunya ekspresi Ara yang selalu disukainya ... sejak dulu.
"Ju—Ju ... Juan?"
Orang yang merasa terpanggil itu tersenyum padanya lalu balas memanggil. "Ara."
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Run
Short StoryLari Aku hanya ingin lari, karena keadaanku tidak memungkinkanku untuk bertahan. 28 Oktober 2016 By Inna