| n i g h t g r i e f |
[]
Seperti biasa hari ini aku pulang menggunakan sepeda bersama sahabatku. Awan, Linda, Ajeng, dan Dito.
Ketika kami melewati jembatan, kami sangat berhati - hati. "Jangan bercanda loh. Disini rawan." Kata Dito.
Ah, Dito memang suka membuat suasana menjadi menyeramkan. Tapi tak ada salahnya kan untuk mengikuti intruksinya. Yang di ucapkan juga hal positif.
Aku melihat bujur kaku pepohonan. Bambu - bambu itu kini sudah di garisi police line. Pertanda kita dilarang melintasi daerah itu.
Aku menelan ludahku, dan mengernyitkan dahi. Sementara aku jadi ingat apa yang di ceritakan Dito. Katanya hati - hati kalau lewat bambu - bambu. Kemudian aku juga ingat kata - kata Ajeng.
Intinya jangan melamun aja sih.
Aku langsung mengejar mereka yang nampak jauh di depan. Aku merinding.
--
Ketika kami melewati sungai, disitu aku melihat seorang nenek yang tergopoh - gopoh bersama rekannya, sambil membawa rerumputan untuk pakan hewan peliharaanya.
"Kenapa Mbah, kok buru - buru?" Tanya Awan sambil menstandarkan sepedanya.
"Iyo. Le nduk katanya yang lagi ngarit di atas di suruh turun. Katanya pembunuhnya lagi berkeliaran di atas." Kata Mbah Tarni sambil menunjuk puncak sana. Terlihat wajah mereka ngos - ngosan terlihat dari peluh yang begitu deras di dahi nenek itu.
Aku mengernyitkan dahi. Keringat dinginku mulai mengalir. "Yaudah yuk langsung pulang aja." Kataku mengajak mereka.
"Yowis, matur nuwun nggih mbah." Kata Awan menutup perbincangannya.
Hilir mudik polisi juga membuatku ngeri. Tidak biasanya ada banyak personil polisi mengamankan desaku.
Yang jadi pertanyaannya adalah kenapa petugas polisi itu tidak berjaga juga pada malam hari. Dan hanya mengandalkan Kang Wahyu yang sendirian mengamankan desa sambil ronda malam.
--
Malam itu, aku sekedar ingin berbincang - bincang dengan Mas Agung. Kakaku itu sedang sibuk dengan laptopnya. Entah dia sedang mengerjakan atau main game apaan. Yang jelas aku masuk kamarnya sambil bilang permisi.
"Apa?" Tanyanya dengan alis terangkat.
Kakaku ini memang paling sebal kalau aku masuk ke kamarnya. Dia bilang aku punya kamar sendiri. Kenapa harus melulu main ke kamarnya. Aku hanya tersenyum kecil.
"Mas tadi pagi aku nyepeda sama Mas Alan dong." Kataku sambil tersenyum memeluk bantal.
"Oh." Katanya dengan nada menyepelekan.
Ih gitu doang responnya? Sial, punya kakak satu kok menyebalkan banget.
"Mas. Menurut Mas, Alan itu gimana?" Kataku dengan nada biasa. Jangan terlihat aku seperti haus informasi tentangnya.
"Baik, pinter. Rajin sholat juga." Katanya sambil mengetikkan beberapa huruf.
Aku mengangguk. Kini senyum ku lebih lebar. "Kok gak disebutin ganteng, manis, tinggi." Kataku dengan nada sewot.
"Salah tanya kali." Kata Mas Agung singkat padat dan jelas. Lagian Mas Agung kan cowok, masa nyebutin temennya dengan ganteng lah, manis lah, bla - bla. Nanti malah dikiranya suka sesama jenis lagi. Aku terkikik pelan.
--
Seperti biasanya malam ini sepi sekali. Hanya suara jangkrik dan dentingan jarum jam yang terdengar kuat di telingaku. Aku sudah berbaring di atas kasurku. Dan siap untuk tidur.
Ketika aku tidur. Aku masih sering mendengar Kang Wahyu yang memukul kentungannya dengan keras. Sehingga menimbulkan suara kencang. Tapi malam ini apakah tidurku terlalu nyenyak? Atau aku terlalu takut sehingga tidak mendengar suara apapun?
"Nadin. Bangun nak." Kata Ayah membangunkanku.
Aku bangun dengan mata yang susah diajak berkompromi, kemudian melirik jarum jam masih menunjukkan 3.20 ini masih malam kalau aku bangun jam segini.
"Ah, Ayah. Ini masih terlalu malam untuk bangun. Biasanya aku gak bangun jam segini." Kataku sewot sambil membenarkan rambutku yang acak - acakan.
"Memangnya ada apa Yah?" Tanyaku heran.
"Kang Wahyu meningggal." Ucap Ayah lirih. Kini matanya merah.
Innalilahi wa inailaihi rojiun.
Ayah juga sudah memakai baju koko untuk siap menyolatinya. Pantas tadi aku tidak melihat dentuman kencang dari kentungan Kang Wahyu yang biasa ronda malam.
Aku tertegun, kemudian mengikuti Ayah menuju ruang keluarga. Aku melihat Ibu dan Mas Agung sudah berada di sana duduk, wajah mereka terlihat berduka.
Sementara Ayah mengajak Mas Agung untuk pergi ke masjid.
Aku mendekati Ibuku yang cemas. "Bu, kok bisa yah?" Tanyaku membuka percakapan.
"Iya, semuanya udah di atur sama yang diatas tinggal gimana kita ngejalaninnya." Kata Ibu dengan suara yang lemas.
--
Keesokan harinya, kampungku ramai membicarakan kematian Kang Wahyu. Aku juga sempat mendengar kalau pembunuhnya adalah warga yang menempati rumah di belakang deretan bambu besar.
"Aku sering ngeliat dia, bertato, rambutnya gimbal panjang sebahu. Raut mukanya juga sangar." Kata Dito seakan memvonis bahwa orang itulah pelakunya.
"Jangan nuduh sembarangan dulu, itu kan baru rumor." Kataku menyudahi percakapan itu.
Siang hari, aku merasa badanku letih sekali. Aku menyenderkan badanku di sisi tempat tidur sambil menatap jendela. Aku melihat Mas Alan sedang berjalan santai. Mataku pun tak bisa lepas dari sosoknya. Aku melihat Mas Alan yang mengenakan kaos biru berlengan pendek ke arah. Sebentar. Aku keluar kemudian mengintip dari pintu belakang.
Dia menuju ke arah deretan bambu. Yang ku lihat di sana, ia sedang mengasah golok serta pisau-nya, kemudian aku menelan ludahku sendiri. Dadaku mendadak terasa sesak. Dan langsung kembali ke rumah.
[]
A/N: Chapter 3 akhirnya di post. Aku harap ini udah ada gambaran mau ke plot utama hehe.
Gimana ceritanya? Jangan lupa comment apa aja di bawah ya, jangan lupa vote juga hihi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth About Alan
Mystery / ThrillerDijalanan yang licin akibat di guyur hujan. Di saat gemuruh guntur bersahutan. Laki - laki itu berjalan. Memasuki lorong - lorong bambu. Sepi, dingin, malam pun tidak bersahabat dengannya. Bulan pun tidak menampakkan sinarnya.