2. I d i o s y n c r a s y

4.3K 501 50
                                    

| i d i o s y n c r a s y |

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

| i d i o s y n c r a s y |

[]

"Tok - tok - tok." Suara itu muncul lagi. Aku menarik nafas dalam. Menuju ruang belakang. Aku juga mengambil satu batang kayu untuk apa? Yang jelas untuk jaga - jaga.

Pintu belakang sudah tepat di depanku. Kayu yang hampir rapuh ini masih setia menopang dan menutupi, menjaga rumahku dari dinginnya malam, serta panasnya siang.

Aku membuka selop kayu itu. Kemudian "prakkk" pintu itu di buka secara brutal. Menyebabkan aku terpanting ke bawah. Aku belum berani menatap ke depan.

Lututku bertabrakan dengan lantai yang membuatku merasa sakit.

"Assalamualaikum." Yang ku dengar adalah suara laki - laki dewasa yang baru pulang kerja. Yap itu Ayahku. Lantas aku bangun dan memeluk ayahku, bagaikan tidak bertemu dengannya selama bertahun - tahun. Aku khawatir.

"Ayah buka pintunya kurang kenceng!" Kataku dengan wajah cemberut.

"Lagian udah ngetok pintu dari tadi belum juga dibukain." Kata Ayah sambil membalas salamanku.

"Kok gak lewat pintu depan aja si Yah?" Tanyaku yang masih terlihat was - was.

"Nggak nduk, di depan pintunya udah di kunci. Ibu juga tadi smsin ayah kalo lewat pintu belakang aja." Kata Ayah sambil mengajakku masuk kedalam.

Sejenak, aku melirik suasana malam diluar. Sumpah ini ngeri banget sepi. Gumamku.

"Mas Agung kemana Din." Tanya Ayah sambil menurunkan tasnya dan meletakannya di atas sofa.

"Ada di kamar, lagi tidur kayaknya." Kataku sambil membuka kembali prku.

"Tumben gak main dia." Kata Ayah kemudian menyeruput teh hangat yang di sediakan Ibuku khusus untuk Ayah.

Oh iya, benar juga ya? Mas Agung juga biasanya main sampek malem banget. Tapi sekarang milih buat tetep dirumah. Jangan berfikiran negatif dulu. Siapa tau Mas Agung benar - benar lelah sehingga menyempatkan istirahat di rumah. Gumamku dalam hati.

--

Waktunya sarapan. Pagi ini ibu membuat telur dan sosis goreng aku menyantapnya dengan lahap. "Mas Agung udah berangkat bu?" Tanyaku kepada Ibu yang masih sibuk mengaduk segelas susu untukku.

"Kakakmu itu kalo berangkat pagi terus Din. Ibu pengen kamu kayak gitu. Apalagi kamu cewek harus bisa lebih disiplin." Kata Ibu sambil meletakkan segelas susu di meja makan.

"Makasih bu." Ucapku lembut.

Setelah menghabiskan sarapanku, aku meneguk segelas susu. Dan siap berangkat sekolah. Dan aku baru sadar, sedari tadi aku belum melihat Mas Alan yang biasanya lewat di depan rumahku.

Aku mengambil sepedaku. Dan laki - laki berperawakan tinggi itu melintas di hadapanku. Hm, panggil gak ya? Gumamku dalam hati. "Mas Alan." Kataku setengah berseru.

"Iya?" Katanya dengan suara lembut.

Tuhkan aku jadi deg - degan melihat sepasang bola mata hitam pekat di matanya. Dengan alis terangkat. Wajah putihnya kontras dengan baju batik berwarna merah marun. Rambutnya terlihat acak dan masih basah. Air mukanya selalu menenangkan. Seulas senyum muncul di wajahnya.

"Mau berangkat bareng gak papa kan?" Kataku meminta.

"Ayok." Katanya sambil melambaikan tangannya. Pertanda aku di izinkan bersepeda bersama dengannya.

"Siip!" Aku mengacungkan dua jempolku. Lalu melajukan sepedaku agar bisa mensejajarkan dengan sepedanya.

Entah kenapa angin pagi selalu setia mengiringku berangkat sekolah. Satu, dua helai rambutku terbawa angin. Aku sedikit melirik ke arah Mas Alan yang rambutnya juga teracak - acak oleh angin.

"Adem ya Din." Katanya sambil menyisir rambut dengan jari - jarinya dan hanya berpegangan stang satu tangan.

"Iyaa adem banget." Kataku semangat.

"Aku duluan Nadin. Kamu hati - hati." Katanya sambil melambaikan tangan setelah melewati jembatan kayu.

"Okey, makasihh!!" Kataku membalasnya. Aku masih setia menatapi punggung laki - laki itu yang semakin jauh.

--

"Katanya yang bunuh itu masih muda loh." Kata Dito dengan suara kencang membuat seisi kelas terdengar.

Aku tidak ingin membahas perihal itu lagi. Karena dapat membuat mood ku hancur lebur karena takut.

"Mendingan kalian semua pulang sekolah langsung di rumah aja jangan kemana - mana." Tambah Dito sambil melirik ke arahku. Sedangkan teman - temanku yang lain tetap antusias mendengar informasi yang di sampaikan Dito.

Oh, yaampun udah sih jangan bahas ini lagi. Aku lebih baik mengobrol dengan Awan dan Ajeng yang asyik membolak balikkan rubik milik Dito.

"Eh aku pinjem dong." Kataku meminta.

"Emang bisa Din?" Tanya Awan seakan meragukanku dan memvonisku tidak bisa bermain rubik.

"Sini. Mau di coba dulu makanya." Kataku yang masih setia menatap rubik itu yang di bolak - balikkan oleh Awan.

"Nih." Katanya memberikan rubik itu padaku.

Aku mengambilnya. Dan memainkannya, membolak balikkan agar warnanya dapat menyatu dengan pas.

"Kata Ibu aku sih kalau ada yang gedor - gedor pintu jangan langsung di bukain Jeng." Kata Awan kepada Ajeng.

"Iya bener Wan, kampung kita lagi rawan. Katanya juga hati - hati kalau lewat bambu - bambu gitu," Kata Ajeng membahas tentang itu lagi.

"Jangan melamun aja sih intinya. " Tambah Ajeng seketika menghentikkan gerakan tanganku.

Aku memejamkan mata, Kalau ada yang gedor - gedor pintu jangan langsung di bukain. Katanya juga hati - hati kalau lewat bambu - bambu. Kata - kata itu seakan terus berputar di pikiranku. Menguras segala pikiranku. Jantungku seakan berdetak semakin cepat. Sontak Awan menepuk bahuku dan aku tersadar, kemudian membuang tatapanku ke arah meja coklat didepan.

Jangan melamun aja sih intinya.

[]

A/N: tunggu, ini belum terlalu klimaks hehe soalnya ini juga sebagai pendukung buat ke plot utama-nya. So kalian bisa komen apa aja di bawah, jangan lupa buat vote yaa! Terimakasih

The Truth About AlanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang