7. Manis

4.5K 548 144
                                    

Sabtu pagi. Matahari belum menampakkan wujudnya. Seorang gadis berdiri di hadapan cermin sambil menguncir rambutnya. Pagi ini rencananya ia akan jogging. Tujuannya untuk sedikit membakar kalori yang terpendam di tubuh.

Dengan pakaian tanktop hitam dibalut hoodie jacket peach dan celana training selutut, earphone tertempel di kedua kupingnya, serta sebuah handuk kecil berwarna putih menggantung di lehernya, gadis itu membuka pintu kamar lalu keluar menuruni tangga, berjalan menuju pintu dan membukanya setelah kunci terbuka. Tidak lupa kembali menutup pintu tersebut.

Udara segar di pagi hari membuatnya memejamkan mata sejenak, lalu pemanasan sebelum berlari-lari kecil mengelilingi komplek perumahannya.

♣️♣️♣️

Peluh keringat membanjiri leher, dahi serta kulit perutnya. Gadis itu duduk di bangku taman komplek sambil mengibaskan hoodie jacket yang ia pakai. Terdapat sebuah botol air mineral di sebelahnya, menyisakan air yang tinggal seperempat botol.

"Pink!" Panggilan familiar itu mengusik indra pendengarannya. Ia melongoskan wajah mendapati seorang cowok berpakaian kaos hitam dan celana pendek di atas lutut berlari kecil menghampirinya.

Lalu cowok itu duduk tepat di bangku yang sama ia duduki, di sampingnya.

"Mau bakar lemak ya?" pertanyaan menyebalkan itu membuat Rena mendesis. Diacuhkannya cowok di sebelahnya tersebut.

Merasa tidak direspon, cowok itu kembali bersuara. "Lo nyuruh gue datang ke sini sore nanti, buat apa? Sekarang aja, gue sibuk sore."

"Sok sibuk!" cibir Rena. Rena menoleh lalu bersidekap, "Gue dapat amanah dari bu kepsek buat bimbing lo selama satu tahun! Sebenarnya sih males banget," tuturnya dengan diiringi desahan kecil di akhir kata.

Raga mengerutkan dahi, "Amanah dari bu kepsek atau memang lo yang mau ngajarin gue? Hm, semacam pendekatan?" senyum setan terukir di bibir Raga.

Rena melotot garang. "Heh! Jijay banget! Kebanyakan mimpi sih lo. Udah deh, jangan banyak protesan lagi, ini tuh semuanya gara-gara elo tau!" omel Rena dengan penuh kekesalan.

Raga tertawa singkat, "Oh ya? Kenapa nggak lo tolak aja? Lo pikir pake otak lo yang pintar itu, emang gue mau pake segala dibimbing? Apalagi sama lo, ogah!"

"Apalagi gue! Ya namanya amanah yah harus dikerjakan dan disampaikan, emangnya elo, nggak bisa jaga amanah orang!" balas Rena dengan pelototan kesal.

Raga mendengus, namun beberapa detik kemudian senyum miring terukir, "Oke. i accepted. Let's play begin, babe."

Rena pikir, inilah awal dari segala malapetakanya.

♣️♣️♣️

Adnan: Na, aku otw ke rumah kamu ya.

C.Rena: iya, hati-hati Nan.

Rena mematut dirinya di depan cermin. Sebuah dress selutut dengan rok yang agak mengembang berwarna coklat muda terpasang indah di tubuh rampingnya. Rena sengaja mengepang rambutnya dengan kepangan indah. Sekali lagi, Rena memperhatikan tatanan tubuh serta wajahnya saat ini.

"Kira-kira, Adnan mau ngajak kemana ya?" Rena menggigit bibir bagian dalamnya menahan rasa bahagianya. Degub jantungnya terasa kencang.

"Car, ada Adnan di bawah," kepala sang mama menyembul di balik pintu berwarna putih. Rena menyahut lalu segera meraih sling bag coklat tua miliknya, lalu melangkah keluar kamar mengikuti sang mama yang sudah berjalan terlebih dahulu.

Di ruang tamu, tepatnya di atas sofa, Adnan duduk sembari memandangnya dengan senyuman manis. Adnan bangkit dan maju tiga langkah mendekati Mama Rena.

Gia, mama Rena tersenyum hangat. "Mau di bawa kemana nih anak gadis tante?" tanya Gia dengab sesekali melemparkan senyuman menggoda pada muda-mudi di hadapannya ini.

Adnan tersenyum. "Saya pinjem dulu ya tante anaknya. Saya janji nggak bakalan macem-macem. Kalau boleh, saya bisa bawa Rena hingga malam? Nggak lewat dari jam sembilan kok," Adnan meminta izin. Nada suaranya masih saja terdengar gugup, walaupun hampir sering pemuda itu mengunjungi rumah Rena.

Gia mengangguk dan terkekeh. "Boleh-boleh. Asalkan pulang tidak ada satupun yang lecet ya. Tante percaya kok sama kamu, Adnan."

Adnan menghela napas lega lalu segera mencium punggung tangan Gia, begitupun Rena yang sedari tadi diam dengan jantungnya berdebar. Lalu keduanya melangkah keluar rumah setelah berpamitan.

Mobil honda jazz abu-abu milik Adnan terparkir di depan pagar rumahnya. Setelah sampai di samping mobil, seperti kebanyakan cowok romantis, Adnan membukakan pintu di samping kemudi. Rena tersenyum malu-malu lalu masuk dan duduk. Adnan berlari kecil mengitari bagian depan mobil lalu membuka pintu, masuk lalu duduk di balik kemudi.

Sebuah kamera canon berada di atas dashboard. Rena mengambil benda itu. "Kamu bawa kamera, Nan?"

Adnan mengangguk dengan masih mengemudikan mobilnya yang sudah membelah jalanan Jakarta yang tampak lumayan macet.

Rena menekan tombol on yang berada di bagian kanan. "Aku mau lihat-lihat isinya, boleh?" Adnan merespon mengangguk dan tersenyum. Kemudian, Rena mulai asik dengan benda serta gambar-gambar yang tersajikan di dalam benda tersebut.

Mendapati banyak foto dirinya di dalam kamera, Rena menoleh menatap Adnan dengan pipi memerah. "Kok banyak foto aku di sini, Nan?" tanyanya dengan malu-malu.

Adnan tersenyum manis lalu menoleh bertepatan dengan lampu rambu-rambu lalu lintas yang menetap pada warna merah. "Soalnya kamu spot terindah aku. Jadi, sayang dong kalo nggak diabadikan di kameraku," tutur Adnan sambil mengacak rambut gadis di sampingnya.

Pipi putih itu memerah. Menampilkan dengan jelas raut wajah malu sekaligus senang. "Ada-ada aja kamu, Nan," balas Rena sambil menepuk lengan cowok itu.

Adnan mulai menjalankan kembali mobilnya. Pasalnya, lampu merah berganti menjadi hijau. "Kamu nggak percaya? Ya sudah. Coba lihat dengan baik-baik, di foto itu banyak foto candid kamu kan? Na, dari sekian pemandangan indah yang pernah aku lihat, cuma kamu yang paling indah di mata aku. Aku suka mandang kamu saat kamu tersenyum, marah-marah, cemberut, semua aku suka, Na. You're my best sight." Adnan berujar dengan manis. Sedikit menoleh untuk melihat bagaimana respon gadis di sebelahnya ini. Diam-diam Adnan menahan rasa ingin memeluk gadis yang terdiam akibat ucapannya.

Rasanya, pasokan oksigen di dalam mobil menipis. Rena menahan napas, menggigit daging bagian dalam mulutnya untuk tidak melepaskan jeritan bahagianya. Adnan itu ...bisa saja membunuhnya secara perlahan dengan ucapan manisnya.

♣️♣️♣️

Shoplifting HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang