8. Saturday Night

4.3K 507 103
                                    

Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, Adnan memberhentikan mobilnya di parkiran yang tersedia. Ia menoleh menatap Rena yang saat ini masih asik dengan kamera milik Adnan. Cowok itu terkekeh menyadari wajah Rena yang bersemu dan sesekali gadis itu menyimpulkan senyumnya.

"Na, udah sampai," ucap Adnan menyadarkan gadis di sampingnya.

Rena menoleh sebentar ke arah Adnan, lalu setelah itu mengedarkan pandangannya ke luar mobil. "Kota tua?! Wah! Ayo Nan, turun." Gadis itu bersemangat sekali. Lihat, bahkan ia sudah keluar dari mobil Adnan dengan membawa kamera, lalu segera berlari menjauhi mobil.

Adnan tertawa kecil, lalu segera keluar dari mobil dan menyusul Rena yang sudah berlari agak jauh dari pandangannya.

Suasana Kota Tua sore hari ini cukup ramai. Diisi dengan banyak pasangan muda-mudi dan beberapa keluarga. Adnan berhenti di samping Rena yang asik memotret keadaan sekitar yang menurut gadis itu menarik dengan menggunakan kamera Adnan.

Adnan menarik pundak Rena hingga gadis itu mendongak, menatap wajah Adnan yang agak tinggi darinya. Pucuk kepala Rena hanya sebatas pundak Adnan. "Kenapa, Nan?" tanya Rena.

Adnan mengambil alih kamera yang berada di genggaman Rena. Adnan mulai memasukan tali kamera ke dalam lehernya hingga kamera itu menggantung. "Coba kamu berdiri di sana deh Na, aku mau foto. Kelihatan bagus juga viewnya." Adnan mengintrupsi Rena agar gadis itu sedikit menjauh darinya. Berdiri di tengah keramaian Kota Tua, tepatnya di depan gedung putih itu.

"Aku malu Nan," cicitnya pelan. Adnan tertawa gemas.

"Malu apanya sih Na? Punya wajah cantik kok malu, udah berdiri di sana deh." Dengan setengah hati, Rena menuruti kemauan Adnan. Ia melangkah ke depan, lalu membalikkan badan.

Adnan mengintrupsi agar Rena sedikit bergaya. Lalu cowok itu mulai lihai mengambil gambar Rena. Setelah selesai dengan lokasi tersebut, Adnan memanggil Rena untuk kembali mendekat. "Na, sini deh. Kita cari lokasi lain," ucapnya.

Rena mendekat, berjalan bersisian dengan Adnan. "Aku pengen lihat foto tadi, Nan." Adnan mengerahkan kameranya mendekat pada Rena tanpa melepaskan tali hitam itu dari lehernya. Rena tidak menyadari bahwa dagu Adnan menempel pada puncak kepalanya.

"Na," panggil Adnan pelan. Namun, untuk menghindari apa yang ada di dalam pikirannya saat ini, Adnan sedikit meninjit sebelum akhirnya Rena mendongak. Merasa begitu dekat, Rena dengan gugup menjauh dari Adnan.

Adnan tersenyum menyadari kegugupan gadis manis di hadapannya itu. "Ayo Na, kita cari lokasi lain," tanpa canggung, Adnan segera meraih pergelangan tangan Rena lalu menarik pelan gadis itu untuk membelah keramaian Kota Tua saat ini.

  ♣️♣️♣️

"Nan, aku pengen kerak telor," ucap Rena setengah menarik tangan Adnan menuju pedagang kerak telor.

Setelah asik berfoto-foto, bermain sepeda onthel, dan berbagai macam kegiatan mengasyikan, keduanya memilih untuk mendatangi kawasan jajanan di Kota Tua. Adnan yang mendengar keinginan gadis itu tersenyum kecil. Adnan tau, pasti Rena sudah dalam kondisi kelaparan. Saat ini jam menunjukan pukul setengah enam sore.

"Bang, kerak telornya satu ya!" seru Rena saat ia dan Adnan sudah tiba di salah satu grobak abang penjual kerak telor. Abang kerak telor itu menyahut dan meminta agar keduanya untuk menunggu beberapa menit.

"Kamu nggak pesen, Nan?" tanya Rena saat menyadari bahwa Adnan tidak menyerukan untuk memesan juga.

Adnan menggeleng. "Kamu aja, Na." Rena mengangguk. Sesaat kemudian, pesenan itu akhirnya selesai. Sebelum Rena mengeluarkan uangnya dari dalam sling bag, telapak tangan Adnan terlebih dahulu terulur untuk segera menyerahkan uang tersebut sebagai bayaran.

Rena melotot. "Loh, Nan? Kok kamu yang bayar? Kan aku yang beli," kata cewek itu protes.

"Aku yang ajak kamu ke sini, jadi aku yang bertanggung jawab sama semuanya. Termasuk kebutuhan perut kamu, Na." Adnan menuturkan penjelasannya. Melihat Rena yang cemberut, cowok itu terkekeh dan menarik hidung Rena gemas.

"Udah, ah! Jangan cemberut gitu. Mampir ke masjid dulu ya, baru kita makan." Cowok tampan itu segera menarik Rena yang mengangguk sambil menggigiti santapan yang saat ia berada di genggamannya.

Setelah menunaikan ibadah, keduanya kembali menjelajahi Kota Tua. Kali ini, pilihanya jatuh pada Kedai Seni Djakarte. Salah satu tempat kuliner yang terkenal di daerah itu. Adnan memilih tempat duduk di luar. Alasannya untuk menikmati angin malam dan hiruk piruk orang-orang yang melintasi kedai itu.

"Pesen apa, Na?" tanya Adnan sambil melihat-lihat menu.

Rena menggeleng. "Kenyang, Nan."

Adnan mengerutkan alis, lalu mendongak menatap Rena. "Kenyang? Kenyang apanya, Na? Kamu cuma makan kerak telor itu. Pesen sekarang, Na!" titah Adnan tanpa bisa dibantah.

Rena merengut, menatap sebal Adnan. "Ish! Yaudah kentang aja!" jawabnya kesal.

Adnan justru menggeleng. "Pesen nasi, Na. Kamu belum ada makan nasi, aku tau."

Rena menghela napas lalu melihat menu makanan dengan terpaksa. Jujur, memang dirinya saat ini sudah kenyang. "Nasi bakar isi ayam aja, Tuan Pemaksa!"

Senyum kemenangan timbul di bibir Adnan. Lalu cowok itu dengan gemas menoel dagu Rena sebelum menyebutkan pesanannya.

"Squash lemon ya, Nan!"

"Nggak ada! Air putih satu sama es teh manis ya, Mas." Adnan menolak, lalu segera menyebutkan kemauannya. Setelah waitress itu meninggalkan meja, Adnan baru menolehkan wajahnya menatap Rena yang saat ini sedang asik mencibirnya sambil memainkan ponsel.

"Demi kebaikan kamu juga, Na. Jangan minum atau makan yang masam-masam dulu. Perut kamu belum diisi dengan karbohidrat. Ya walaupun kamu tadi udah makan, tapikan itu cuma buat mengganjal. Jangan cemberut terus dong, makin jelek kan mukanya," cowok itu tertawa setelah melontarkan ceramah dan ledekannya.

Rena meletakan ponsel di atas meja lalu menatap Adnan kesal. "Kamu tuh yang jelek! Nyadar dong!" sungutnya kesal. Meskipun, di dalam hati ia membenarkan ucapan Adnan, bahwa saat ini ia belum boleh memakan atau meminum sesuatu yang masam-masam.

Adnan tertawa gemas. Diraupnya wajah Rena yang masih bisa ia jangkau. Lalu melepaskan raupan itu setelah pemilik wajah berteriak kesal. Untung saja keadaan ramai, jadi teriakan itu tersamarkan.

"Jelek kamu, Nan! Bau!"

Adnan tertawa. "Tapi, kamu ...sayang kan?"

Lalu hening sejenak.

  ♣️♣️♣️♣️

Shoplifting HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang