Rasa sakit yang paling sakit adalah, ketika seseorang membuatmu teramat istimewa kemarin, lalu membuatmu teramat tak dinginkan sekarang.
📍
Jangan mencoba melupakan. Biar saja, biarkan bagai air sungai yang mengalir. Kenangan itu akan hilang dengan sendirinya.
📍
Cewek emang senang dikasih harapan, tapi cewek akan lebih senang jika dikasih kepastian.
📍🔥🔥🔥
Adnan melajukan motor V-ixion miliknya dengan kecepatan sedang. Sepulang sekolah, setelah berbicara serta memohon maaf kepada Rena, Adnan memutuskan untuk segera pulang. Pikirannya kacau. Ucapan Raga beberapa menit lalu masih terngiang jelas di dalam pikirannya.
Bukan maksud Adnan mendekati Rena untuk dijadikan pelampiasan, hanya karena satu hal. Satu hal yang Adnan benci. Mengapa harus Rena? Mengapa harus ada lagi? Pertanyaan itu terus menerus bermunculan. Adnan sudah berusaha melupakan, tapi semakin melupakan, semakin pula ia mengingat.
Adnan juga sudah mencoba mendekati beberapa cewek, contohnya Alicia. Itu hanya sebatas mengalihkan pikirannya. Namun, tetap saja, Adnan tidak bisa. Hatinya sungguh sakit.
Bukan juga, Adnan ingin memberi harapan palsu kepada Rena. Hanya saja, Adnan benar-benar ingin memastikan kebenaran perasaannya pada gadis yang sudah satu tahun mengisi hari-harinya.
Adnan memberhentikan motornya di salah satu toko. Toko bunga. Cowok itu melepas helm, lalu melangkah masuk ke dalam toko.
Seorang wanita berjilbab biru laut menghampirinya. "Ada yang bisa dibantu, Mas?"
Mata Adnan bergulir, menatap bunga-bunga yang tersusun rapi. Kedua bola mata hitam legam itu jatuh pada satu buket bunga mawar putih. Seulas senyum tipis terukir di bibirnya.
"Saya mau yang itu, Mbak. Satu ya." Adnan menunjuk ke arah bunga mawar putih tersebut. Mbak yang dijadikan sebagai pelayan di toko bunga segera mengambil bunga tersebut dan membawanya ke kasir.
Setelah membayar, Adnan segera keluar dari toko tersebut. Diletakan bunga tersebut di bagian jok depan, lalu Adnan segera melajukan motor setelah naik ke atas jok motor.
Tidak butuh waktu lama mengendarai motor di jalanan, Adnan tiba di tempat yang sangat ia tuju. Sudah sekitar dua minggu lebih ia tidak pernah menginjakkan kaki ke tempat ini.
Alas sepatu converse hitam putih milik Adnan menapak di tanah coklat kemerahan. Sambil menggenggam erat bunga yang ia beli tadi, Adnan melangkah menuju salah satu nisan yang sudah terjangkau oleh kedua bola matanya.
Sebuah nisan berwarna hitam. Adnan merubah posisi menjadi berjongkok. Diletakannya bunga itu di atas nisan tersebut. Tangan kanannya terulur untuk mengelus bagian nama, lahir, dan wafat.
Adnan tersenyum kecut. "Hai, Ca. Kangen nggak sama aku? Kalau aku, kamu nggak usah nanya lagi ya. Aku kangen, pakai banget, Ca sama kamu. Asal kamu tau, aku buat dia sakit hati lagi, Ca. Walau dia nggak bilang, tapi aku seakan merasakan sakit hatinya dia. Ca, maaf, kalau misalkan aku benar-benar cinta sama dia. Tapi yang harus kamu tau, kamu tetap ada di hati aku, meski dia udah berhasil masuk ke dalam hati aku." Kedua bola mata hitam legam Adnan dilapisi cairan bening. Sakit. Hatinya bergejolak, rasanya Adnan ingin menangis kembali.
Biarkan saja orang-orang menganggapnya lemah. Menangis akibat ditinggal oleh orang terkasih. Enam tahun selalu bersama, hingga kedekatan keduanya berubah menjadi status pacaran. Dua tahun menjalin hubungan tersebut, terpaksa harus berakhir lantaran kekasih Adnan mengidap penyakit leukimia stadium akhir. Masih muda memang, namun umur tidak ada yang tahu, bukan?
Adnan tahu, ini cuma sekedar cinta monyet. Cintanya anak SMP. Namun, apa daya, perasaan itu sudah timbul cukup lama. Adnan pikir hanya sebatas kagum, dan berharap perasaan itu akan hilang dengan sendirinya, namun bukan menghilang, perasaan itu semakin menjadi.
Cukup lama Adnan terdiam, lalu cowok itu kembali mengelus kepala nisan tersebut.
"Ca, aku pulang dulu ya. Kalau aku ada waktu, dan pasti, aku akan datang. Jaga diri kamu baik-baik di sana ya. I love you, so much, Ca." Adnan mengecup bagian nama tersebut. Satu tetes air mata jatuh, namun Adnan langsung menyekanya. Ia tersenyum memandang nisan kekasih yang ia cinta, lalu setelah itu Adnan bangkit dan segera keluar dari daerah pemakaman.
♣️♣️♣️
"Kok mampir ke sini sih, Ga? Gue capek tau, nggak? Mau pulang, nih." Rena mencebik, cewek itu mengekori Raga yang seakan tidak peduli dengan segala rengekannya.
Raga duduk di salah satu kursi yang terdapat di kedai ice cream ini. Disusul Rena yang duduk di hadapannya dengan wajah cemberut.
"Nggak usah cemberut. Pilih yang mana lo mau. Gue tau, lo lagi pengen ice cream, kan?" tanya Raga sambil menatap Rena tanpa ekspresi.
Seketika mata Rena berbinar senang. Ia menyebutkan bermacam-macam pilihannya kepada seorang pelayan. Lalu, Raga pun begitu, bedanya cowok itu hanya menyebutkan satu macam saja.
Seakan teringat, Rena menoleh dengan cepat menatap Raga. "Lo yang bayar kan, tapi?"
Raga mengerutkan alis. "Gue ada bilang?" tanyanya skeptis.
Rena melotot. "Ga! Seriusan, ih! Gue nggak bawa uang, Ogeb! Tanggung jawab lo! Kalau lo bilang dari awal kalau lo nggak mau bay--"
"Cerewet," potong Raga. "Kalau gue yang nyuruh lo pesan, yaudah, jelas kalau gue yang bayar. Katanya pintar, masa urusan ginian aja bego?"
Rena berdecak. Memalingkan wajah, menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Menunggu beberapa menit, lalu pesanan ice cream yang ia pesan akhirnya datang.
Setelah pelayan yang mengantar ice cream itu pergi, Rena langsung menyambar satu mangkuk ice cream dengan rasa vanila yang ditaburi coco chips, selai strawberry, dan kacang-kacang kecil yang.
Raga meraih ice cream coklat bercampur strawberry tanpa adanya topping. Cowok itu memerhatikan Rena yang asik dengan makanan di hadapannya.
Setelah puas menikmati tiga mangkuk icr cream, Rena mengangkat wajah dan menyengir saat melihat Raga yang menatapnya tanpa ekpresi.
"Macem orang nggak pernah makan tau, nggak?!" sembur Raga sambil membersihkan noda-noda sisa ice cream di bagian sekitar bibirnya.
Rena mendengus, lalu nyengir. "Nggak papa, lah. Masalah gitu buat lo?" balasnya nyolot.
Raga melotot. "Masalah, lah! Turun pamor gue sebagai cogan! Gue kayak bawa anak kecil yang nggak tau malu makan es krim macem orang nggak pernah makan," ucap Raga kesal. "Rakus lo!"
Rena membalas melotot. " Peduli setan lah, ya! Nggak usah ngurus orang, urus diri sendiri aja belum bener! Lakuin sesuka apa yang kita mau, tutup telinga, nggak usah dengerin kata orang yang bilang jelek-jelek tentang kita. Emangnya mereka siapa? Kenal aja nggak, kan?"
Raga menghela napas pendek. Cowok itu beranjak menuju kasir untuk membayar semua pesanan. Disusul oleh Rena yang terlihat santai. Cewek itu bahkan sudah keluar terlebih dahulu dari dalam kedai ice cream.
Dihampirinya Rena yang sudah berdiri di samping motor putih besarnya, Raga segera memakai helm.
"Ya, ya, terserah apa yang lo mau. But, udah enakan kan sekarang perasaan lo dibanding yang tadi?" Cowok itu bertanya.
Rena mengangguk-anggukkan kepala sembari tersenyum lebar. Dipukulnya pundak cowok itu lalu segera menaiki jok belakang motor.
"Thanks, Ga. Sering-sering ya kayak gini sama gue. Jangan jahilin mulu, bikin kesel tau, nggak?"
Raga menjalankan motornya. Ia menoleh sedikit kebelakang, lalu tersenyum di balik kaca helm yang berwarna hitam.
♣️♣️♣️
Hoihoi!
Sorry buat typo,
Gimana sama part ini? Udah nemu clue belum?
KAMU SEDANG MEMBACA
Shoplifting Heart
Teen Fiction|COMPLETED| Alvero Ragandra Ghiffari. Cowok yang dikenal sebagai biang onar SMA Garuda. Balapan, mengusili teman-teman sekolahnya, sudah menjadi hobi cowok nakal itu. Carrissa Agatha Renafa, teman satu kelasnya, juga termasuk salah satu korban keja...