Ana

906 42 1
                                    

16.00
"Hey, tunggu aku!" Teriakku pada Ana sambil terengah-engah.
"Kamu cepet banget jalannya," lanjutku sambil berusaha mengikuti langkahnya.
"Kamu ngapain ngikutin aku," gumam Ana datar.
"Kita kan jalannya searah, jadi bisa pulang bareng kan."
"Oh iya, boleh sih," ia terlihat malu tapi sepertinya senang dengan kehadiranku.
"Jadi kamu suka nggambar ya?"
"Iya, kamu nggak ngerasa terganggu kan dengan gambarku tadi?"
"Nggaklah, buat aku keren cewek bisa nggambar seperti itu,"
Jawabku sambil mengingat gambar tadi. Kalau dipikir aku cukup ngeri melihat gambarnya tadi. Tapi, mana mungkin aku bilang yang sebenarnya.
"Kamu tau kan, menggambar adalah caraku mengekspresikan diri. Mengungkapkan perasaanku melalui gambar terasa lebih mudah, apalagi kalo uda suka nggambar dari kecil,"
Entah kenapa aku merasa senang dia sedikit terbuka padaku.
"Tapi nggambar orang luka berdarah-darah gitu juga ungkapan perasaanmu?"
"Aku rasa iya. Tapi jangan diartikan langsung seperti gambarnya ya. Jangan dikira aku psiko," katanya sambil menyisihkan helai rambut kebelakang telinganya yang mungil itu. Kulihat simpul senyum di wajahnya.
"Ah, iya santai aja." Kataku menenangkannya. Sambil berjalan disebelahnya aku memperhatikan sekitarku. Pohon-pohon di pinggir jalan terkena sinar matahari sore. Sedikit melindungi kami dari panas. Meski begitu, terik matahari sore ini tetap mampu menyinari rambutnya, membuat rambut Ana berkilauan.

Kami terus berjalan menyusuri jalan desa yang sepi. Rumah Ana yang dekat dengan rumah nenekku membuatku menjadi tetangga barunya.

A Friend of MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang