Alea tahu bahwa sejak awal dia sudah salah mengambil keputusan. Melihat bagaimana saat ini Gina memeluknya erat sambil menangis. Tak ingin membiarkannya pergi bahkan sedikit saja.
"Aku kangen banget sama Kakak," isaknya seakan Gina tak bisa lagi melihat Alea esok hari. "Kakak kemana saja selama ini? Aku kira kakak membenciku... Jangan pergi lagi, kumohon..." Gina menengadah, matanya terlihat merah dan sedikit bengkak akibat tangisan yang tak kunjung henti.
Percuma saja Alea menengadah untuk menahan air matanya yang mengalir jika hatinya terus merasakan penyesalan yang mendalam karena sudah meninggalkan Gina untuk bertahan sendirian melewati penyakitnya selama ini. Tangannya yang lentik bergerak mengelus kepala Gina. "Maafkan kakak, Sayang," bisiknya disertai dengan isakan yang tak kunjung henti. "Maafkan kakak..."
Gina menggeleng, melepaskan pelukannya dan menatap Alea sambil tersenyum kecil. "Tidak apa-apa, kak. Yang kuinginkan adalah kehadiran kakak disini. And here you are."
Dan senyuman itu membuat Alea berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia takkan pernah meninggalkan Gina kembali. Apapun resikonya, ia akan membantu Gina untuk melewati penyakitnya.
"Kau sudah makan?" tanya Alea sambil memperhatikan wajah Gina yang sudah lama tak ia lihat. Oh, betapa ia merindukan gadis kecil ini...
"Aku sudah makan. Suster gemuk mengantarkannya pagi tadi." Gina menyahut polos yang membuat Alea tersenyum geli dan menghapus air mata yang tersisa. "Kau tahu kak, mereka selalu mengurungku disini dan tak membiarkanku kemana-mana. Ketika Mami menjengukku, baru mereka memperbolehkanku keluar."
"Mami?"
Gina mengangguk cepat. "Mami pernah menanyakan tentang kakak, tapi aku menjawab tidak tahu karena aku memang tidak tahu keberadaan kakak saat itu. Kakak menghilang begitu saja," gumamnya pelan sebelum melanjutkan, "Tapi, sekarang kakak sudah bersamaku. Kakak tidak akan meninggalkanku lagi, 'kan?"
Alea tersenyum dan mengangguk. "Kakak janji tidak akan meninggalkanmu lagi," sahut Alea yang disertai sumpahnya dalam hati untuk tidak meninggalkan adik angkatnya ini. "Kalau begitu, apa Gina ingin keluar sekarang? Kakak akan mengantarkanmu kemanapun kau mau."
"Benarkah? Aku ingin ke taman saja, Kak," gumamnya penuh antusias. Alea tersenyum sebelum keluar untuk meminta kursi roda dari suster yang berjaga tak jauh dari ruangan Gina dan membawanya ke ruangan sang adik.
Alea bantu memapah Gina agar duduk di kursi itu.
"Kak, yang sakit itu hati aku, bukan kaki aku. Jadi, kenapa aku harus memakai kursi roda?"
"Kau tidak boleh lelah, Sayang." Ia memberi pengertian kepada Gina. Perlahan, Alea mendorong kursi roda Gina untuk menuju ke halaman rumah sakit sesuai permintaannya.
Ditatapnya punggung ringkih Gina dengan iba. Kenapa dia begitu bodoh selama ini? Sejak lama keduanya tidak berjalan bersama seperti ini dan tentu saja, Alea merindukan hal seperti ini. Ia ingat dulu dirinya sering mengajari Gina membaca dan menulis agar tidak ketinggalan dengan anak-anak seusianya. Karena sejak kecil, Gina sudah menginap di rumah sakit.
Mereka duduk di dekat air mancur atas permintaan Gina. Rumah sakit ini luar biasa mewah, designnya juga menarik. Terdapat beberapa taman di rumah sakit ini. Ada taman depan, belakang dan taman yang berada di tengah-tengah rumah sakit. Keduanya menikmati pemandangan alam buatan tersebut. Melihat orang-orang berlalu lalang dan menghirup udara matahari yang telah lama tidak Gina lakukan.
"Kakak ada permen untukmu," ujarnya saat mengingat sebuah permen yang ia beli ketika hendak ke rumah sakit. Karena permen itu mengingatkannya pada Gina.
KAMU SEDANG MEMBACA
DOCTOR, I'M YOURS! ✔
RomanceSUDAH TERSEDIA DI POGO verso Audio book, Innovel/Dreame ya manteman & juga PDF! *** "Semua ini hanya sandiwara, Alea Keyrich Lanshy!" -William Jordan Henderson