Wingga
Aku melirik jam tanganku. Tepat pukul 11 malam.
Setelah kesadaranku kembali seratus persen, aku ingat apa yang terjadi sebelum aku pingsan. Sial, ini sangat memalukan, kalau sampai orang-orang di sekolah tahu apa yang terjadi beberapa jam yang lalu. Tragedi pingsannya seorang Wingga akibat kegelapan, informasi itu pasti akan menjadi trending topic satu sekolah berminggu-minggu atau berbulan-bulan ke depan. Oke, aku agak lebay. Tapi memang begitu adanya. Bukan sombong, hanya saja memang terlalu banyak orang-orang yang punya rasa keingintahuan yang tinggi terhadapku.
Yang langsung terpikirkan kemudian adalah tangan siapa yang tidak sengaja aku genggam di sekolah tadi? Ah, sial. Bisa-bisanya aku segegabah itu, langsung asal genggam tangan orang yang aku bahkan tidak tahu dia laki-laki atau perempuan.
Beruntung, otakku langsung bekerja cepat menguasai keadaan saat ini. Aku bergegas menemui perawat yang berjaga di IGD saat itu dan bertanya siapa yang membawaku kesini. Tidak, bukan untuk berterima kasih, tapi aku tidak ingin orang itu menyebarkan gosip buruk tentangku ke seantero sekolah tentu saja. Apakah orang yang membawaku kesini dan orang yang tidak sengaja aku genggam tangannya adalah orang yang sama? Sial, aku tidak ingat sama sekali apa yang terjadi setelahnya.
"Tadi teman kamu yang bawa kamu kesini. Iya kan Ren?" perawat itu bertanya ke rekan kerjanya untuk memastikan.
Teman? Siapa temanku? Aku berpikir dalam diam, menanti kalimat perawat lain yang dipanggil 'Ren' itu.
"Iya. Lho, barusan masih disini kok teman kamu. Sepertinya sedang ke minimarket beli makanan," ujarnya.
"Minimarketnya dimana Mbak?" tanyaku lagi.
Setelah mendengarkan penjelasan arah jalan menuju minimarket, aku merogoh handphone di saku celanaku. Ada dua missed calls dari Mama. Tentu saja, ini sudah jam 11 malam, dan aku belum juga pulang. Semalam-malamnya aku nongkrong di sekolah, jam 9 biasanya sudah pulang. Aku mengirim pesan ke Mama kalau aku akan pulang sebentar lagi, lalu bergegas mengambil ranselku yang ada di samping ranjang tempatku tidur tadi dan pergi ke bagian administrasi.
Tapi ternyata biaya tagihan IGD sudah dibayar oleh teman yang membawaku kemari, katanya. Jadi, tanpa menunggu lebih lama lagi, aku pergi ke minimarket, mencari siapa teman yang membawaku kemari. Aku naik lift turun ke lantai dasar, dan bergegas menuju ke minimarket. Aku berkeliling minimarket, tapi tak kutemukan siapapun yang kukenal.
Ah, bodohnya tadi aku tidak bertanya temanku yang dimaksud oleh dua perawat tadi cewek atau cowok. Aku berniat untuk kembali ke IGD lagi, tapi tiba-tiba handphone-ku berbunyi nyaring tanda telepon masuk.
"Kamu dimana Wingga?"
"Masih di jalan Ma. Mama tidur dulu aja nggak apa-apa, aku kan bawa kunci,"
"Nggak, Mama belum ngantuk. Cepet pulang ya, Mama tungguin,"
"Iya, Ma,"
Antara ingin kembali ke IGD atau pulang, akhirnya aku memilih pulang. Mama kalau mau nunggu aku pulang biasanya benar-benar tidak akan tidur sampai aku datang. Jadi, lebih baik aku segera pulang. Di taksi sepanjang perjalanan menuju rumah, aku membuka LINE group chat teman satu angkatan, anak olim, dan kelas. Tidak satupun ada yang membahas tentang aku. Aku bersyukur tapi masih was-was sebelum tahu siapa yang membawaku ke rumah sakit, dan benar-benar memintanya dengan tegas untuk tidak menyebarkan kabar buruk tentang aku.
Orang-orang memang begitu kan? Suka mengorek kehidupan orang lain, mencari tahu kelemahannya dan membicarakan keburukannya. Tapi, mana ada manusia di dunia ini yang suka dirinya dibicarakan oleh orang-orang? Aku juga manusia, dan aku tidak suka dibicarakan orang lain. Apalagi kalau mereka membahas kenapa Wingga bisa turun jadi ranking kedua satu sekolah, padahal dia lebih pintar daripada Wimo.
. . .
Alana
Tangan misterius bak hantu dari kegelapan itu menggenggam tanganku erat-erat, seolah ketakutan luar biasa. Saat aku bertanya siapa dia, tidak ada jawaban. Tapi hey, ini benar-benar dekat dengan meja nomer sembilan tempat Wingga duduk. Dan aku yakin kalau tangan ini adalah tangan seorang cowok.
Mari kita hitung probabilitas kemungkinan tangan itu adalah tangan Wingga: Sepanjang ingatanku, orang terakhir yang ada di perpustakaan hanya aku dan Wingga. Saat itu Mbak Yatna, petugas perpustakaan sudah pulang, karena sudah lewat jam kerja. Biasanya yang mengunci pintu perpustakaan adalah Pak Royco. Jadi, mustahil kalau tiba-tiba ada orang lain.
Ah, kenapa tiba-tiba aku jadi sematematis ini?
Aku merogoh saku rok dengan tangan kiri untuk mengambil handphone. Aku bermaksud menyalakan senter yang ada di handphoneku saat yang terjadi kemudian membuatku terbengong luar biasa.
...to be continued...
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hay gengs!
Hari jumat lanjut episode Alana ya..
Btw, kamu lebih suka episode Alana atau episode Wingga?
Menurut kamu, apa yang kurang greget di episode yang nggak kamu suka itu?
Vote dan comment jangan lupa yaa?
See you at Friday!
KAMU SEDANG MEMBACA
Too Far to Hold [COMPLETED]
Teen Fiction[Proses Terbit] "Kamu sangat dekat hanya dalam mimpiku" Novel dua sudut pandang by Fifi Alfiana Alana You just can help someone that he wants to be helped. Trust me, semua orang yang berusaha membantunya akan gagal. I can't believe even to m...