Alana
"Pasti lo pelakunya. Iya kan?" todongku ke Jihan yang duduk di sampingku.
Jihan menatapku dengan muka innocent. "Hmm?" tanyanya pura-pura bego.
Sebelum mulai marah-marah ke Jihan, aku berniat menghapus foto itu dari akun Instagram-ku, sebelum lebih banyak orang yang melihatnya. Tapi kemudian aku menatap foto itu lamat-lamat. Foto itu menggunakan teknik makro, yang membuat fokusan dari lensa adalah air mancur dan pelangi. Tidak akan banyak orang yang sebegitu perhatiannya sampai mencari tahu siapa cowok yang muncul di siluet itu. Bisa jadi orang lewat kan?
Aku tahu ini hanya caraku menenangkan diri sendiri. Tapi hey, kenapa aku sebegininya takut ketahuan kalau itu Wingga? Kenapa aku harus takut jatuh cinta? Tidak, aku tidak takut ketahuan cowok di foto itu adalah Wingga. Aku juga tidak takut ketahuan kalau aku jatuh cinta padanya. Yang aku takutkan adalah seberapa tampak menyedihkannya aku kalau benar-benar ketahuan.
Lalu yang kemudian terpikirkan adalah why people always afraid to love 100%? Too worried if liked the person more. Hey, ini kan cuma cinta, it demand to be felt. Akhirnya, dengan keyakinan mendekati 100%, aku mengurungkan niatku untuk menghapus foto itu dari akun Instagram-ku. Baru satu jam yang lalu diposting oleh Jihan, likers-nya sudah hampir seribu, dan bejibun comment yang aku mager membalasnya satu per satu.
"Kenapa nggak jadi dihapus?" tanya Jihan mencondongkan kepalanya untuk mengintip layar handphone-ku.
"Nggak apa-apa, bagus juga kok fotonya, Instagram-able,"
JIhan melirikku penuh selidik. "Lo pengen dia tahu yaa?"
"Tahu apaan?"
Dia berpikir sejenak. "Emm, kalo lo suka potret dia dari jauh?"
"Gue nggak peduli dia tahu,"
Kali ini, Jihan mendengus kecil tanda tidak percaya. "Kalo dia tahu lo suka sama dia, gimana?"
"Jangan dulu lah, belum siap gue," sergahku. "Jangan macem-macem ya. Awas aja kalo hack IG lagi!"
"Ih, lo nggak cerita-cerita sih, jadi bete kan gue penasaran," sungut Jihan kesal. "Pasti ada hubungannya sama Wingga ya?"
Tiba-tiba, ada suara lain yang memanggil namaku. "Alana?"
Aku segera menyembunyikan handphone-ku ke bawah buku sejarah yang sedang terbuka di atas mejaku, lalu tersenyum menatap pemilik suara itu, Pak Tofa, guru sejarah paling membosankan di seluruh dunia.
"Iya Pak?" tanyaku dengan senyuman yang kubuat se-innocent mungkin.
Kalimat selanjutnya dari Pak Tofa pastilah menyangkut mata pelajaran, aku yakin itu.
"Lanjutkan jawaban nomor 5 ya," tuh kan, aku benar. Dan the terrible things adalah aku tidak mendengar sama sekali apa yang mereka jelaskan di nomor 5. Sial.
. . .
Nama lengkapku adalah Alana Kenisha Alandara. Kalau kamu coba cari di Google, maka akan muncul berbagai website yang menjelaskan apa arti nama Alana. Yeah, saking pasarannya namaku. Kalau menurut Wikipedia, nama Alana berasal dari Old High German atau Irish people yang punya arti precious atau child. Ada juga yang mengartikan beauty, serenity, atau fair.
Tapi kalau versi Mama ketika aku bertanya apa arti namaku adalah: "Ya cuma nama. Itu panggilan aja,"
Jawaban yang agak bikin sedih karena sebenarnya aku berharap ada hal spesial yang menjadi sejarah terbentuknya namaku. Padahal di website nama-nama bayi, Alana dalam bahasa Arab berarti bringer of hope, admirable, wonderful light, or harmony dan deretan arti-arti yang bagus lainnya yang akan memenuhi episode ini kalau aku jelaskan.
Kenapa aku tiba-tiba membahas nama?
Karenanya lah aku bertemu dengan Wingga untuk ketiga kalinya di hari yang sama saat itu. Yah, se-simpel hanya karena panggilan nama. Dan kurasa aku benar-benar jatuh cinta pada sosok jangkung itu sejak hari itu juga.
Aku bertemu dengannya di bioskop hari itu. Tepat saat aku masuk ke area bioskop, Roger memanggil namaku dari depan counter pembelian snack and beverages. "Alana!"
Yang tertumbuk oleh mataku bukan sosok Roger, tapi sosok yang ada beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Wingga berdiri disana, menatap mataku hanya sepersekian detik sampai pelayan bioskop membawakan pesanannya.
Wingga tidak sendirian hari itu, setelah mengambil popcorn dan minuman yang dia pesan, dia berjalan menuju tempat tunggu yang ada di bagian pinggir bioskop. Seorang anak kecil yang mungkin masih SD kemudian menerima uluran minuman dari tangannya. Wingga tersenyum, terlihat sekali dari binary matanya, betapa dia menyayangi anak kecil itu, yang aku tahu sekarang namanya Kafka, adik kesayangan Wingga.
Bagian mana yang membuatku jatuh cinta? Mana momennya?
Haruskah ada hal semacam itu? Dunia nyata ini bukan drama yang bisa di setting bagaimana kamu ingin jatuh cinta pada seseorang kan? Jadi, aku sendiri tidak paham bagian mana dari pertemuan ketigaku dengan Wingga itu yang membuatku jatuh cinta. Aku hanya terlalu bahagia mendapati pertemuan ketigaku dengannya kurang dari 24 jam, yang berarti kemungkinan besar ungkapan tentang pertemuan dengan seseorang at least 3 kali dalam 24 jam itu kemungkinan akan mempertemukan kita lagi. Doaku hari itu sesimpel bertemu dengannya lagi besok pagi.
Roger menatap ke arah pandangan mataku sejak aku berjalan menuju counter makanan tempatnya berdiri. Ketika aku sudah di sampingnya, dia pun mulai bertanya. "Siapa?" tanyanya sambil mengerling sosok yang aku pandangi sejak masuk bioskop.
"Gue juga nggak kenal. Lo kenal?"
"Ya kalo kenal ngapain gue nanya itu siapa?"
"Oh iya,"
"Lo kok buntu banget? Laper ya?"
Yang membuyarkan lamunanku kali ini bukan Roger. Tapi sahabat sebangku sialan yang suaranya super cempreng. "Al! Lo tidur banget? Nggak laper? Makan yuuk ke kantin," dia mengkoyak-koyak bahuku sekuat tenaga.
Aku semakin melipat tanganku di atas meja, menjadi bantal kepala. "Lagi nggak laper Jihaaan," gerutuku kesal.
Aku masih kesal padanya akibat dua drama sekaligus yang terjadi hari ini yang aku yakin dia adalah sutradaranya. Drama pertama postingan foto di akun Instagram-ku. Drama kedua membuatku harus membuat resume sejarah karena tidak memperhatikan kelas.
"Tadi gue lihat Kak Wingga jalan ke kantin lho. Dia pasti masih disana ini,"
Kontan bahuku terangkat seketika. "Oh ya? Yuk ke kantin," aku segera bangun dari kursi malasku. Aku bukan ingin melihatnya dari jauh, tapi aku ingin menelisik ekspresinya. Tidak mungkin dia tahu akun Instagram-ku kan? Tidak mungkin dia tahu aku posting fotonya yang blurry nggak jelas orangnya itu kan? Tidak mungkin dia tahu kalau aku semalam yang bawa dia ke rumah sakit kan?
Itu semua adalah pertanyaan yang aku ingin mencari jawabannya hari ini. Tapi semua harapan itu pupus, karena tidak tampak ada Wingga di kantin siang itu. Seberapa sedih dikatakan sedih? Yah, ini lebih dari sekedar sedih, tentu saja. Tapi sepertinya lebih baik sedih daripada mengenaskan.
Yang sangat mengenaskan adalah, tidak, bukan mengenaskan. Maksudku adalah mencengangkan, sampai membuatku berteriak tertahan di tengah kelas tambahan sosiologi.
"Kenapa?" tanya Jihan penasaran saat mendapati ekspresiku ketika membuka notifikasi direct message akun Instagram.
[@alanakenisha] @winggaranuvida has sent a message to you!
. . .
To be continued..
Halo aloha~
Terima kasih support 'stay tune', vote dan comment dari teman-teman pembaca semuanya. Episode ini sekaligus menjadi episode penutup bulan November tahun 2016. Novemberku disini sangat moment-able. Sangat worth-it untuk di kenang. November Alana di cerita ini juga sangat-sangat-sangat ingin dia kenang. November kamu?
Ah, gimana kalo November Wingga?
Eits, nanti update Wingga udah masuk Desember nih. Wkwk
Stay tune yaa~
fifi.alfiana
KAMU SEDANG MEMBACA
Too Far to Hold [COMPLETED]
Teen Fiction[Proses Terbit] "Kamu sangat dekat hanya dalam mimpiku" Novel dua sudut pandang by Fifi Alfiana Alana You just can help someone that he wants to be helped. Trust me, semua orang yang berusaha membantunya akan gagal. I can't believe even to m...