Wingga
Aku menguatkan genggaman tangan mungilku ke tangan Papa yang berjalan di sampingku. Sarung tangan yang melapisi tangannya tidak membuat kehangatan tangan besar Papa tak bisa kurasakan. Genggaman tangan Papa saat itu seakan mampu melindungiku dari bahaya apapun yang menghadang di luar sana. Genggaman tangan itu sekaligus membuatku tahu bahwa aku sedang ada di alam mimpi. Aku sedang bermimpi, dan dengan mudah, aku bisa menyadari kalau aku sedang ada dalam mimpiku detik ini. Tapi tidak semudah itu aku bisa bangun.
Munich sedang musim dingin kala itu, di dalam mimpiku. Timbunan salju memenuhi pinggir-pinggir trotoar. Suhunya mencapai -15 derajat celcius. Meski dingin menusuk tulang, orang-orang tetap menjalankan aktivitasnya di hari minggu. Menikmati keindahan salju yang memenuhi jantung kota Munich. Tidak ada orang-orang yang tampak tergesa-gesa menuju tempat kerjanya seperti hari-hari biasa. Hari itu, orang-orang banyak duduk di café menikmati pemandangan musim dingin dengan secangkir cokelat hangat. Tidak sedikit pula anak-anak kecil seumuranku yang bermain-main di taman, membuat boneka-boneka salju lengkap dengan wortel sebagai hidungnya.
Aku tersenyum lebar menatap boneka-boneka salju lucu buatan mereka. Tapi hari minggu di akhir bulan Januari itu tidak ingin kuhabiskan hanya bermain bola-bola salju di taman. Hari minggu special itu telah kutunggu-tunggu bahkan sejak tahun baru. Aku menatap Papa yang sedang menyapa Chef pemilik toko roti samping rumah.
"Guten Morgen, Chef," sapanya ramah.
"Hello Mr. Veza!" pandangan Chef langsung tertumbuk padaku. "Morgen, Wingga!" Chef menyapaku dengan sumringah, mengangkat tangan kanannya mendekat padaku untuk ber-high-five.
Aku tersenyum ceria menyambutnya. "Hello, Chef! I want your baked croissant, Chef!" Setengah berlari, aku hampir masuk ke toko roti milik Chef untuk mengambil croissant kesukaanku.
"Wingga, we might be late for the performance," kata Papa, membuatku terlonjak kaget dan bergegas kembali menggenggam tangannya. Aku tidak ingin terlambat barang sedetikpun kala itu. Aku tidak ingin ada penampilan yang terlewat, bahkan jika itu hanya pembukaan oleh produsernya.
"Aah, so, today is 'the day'?" Chef membulatkan matanya ke arahku.
Aku tersenyum lebar sambil mengangguk. Yes, today is the day. Aku bahkan sudah mengulang-ulang cerita tentang apa yang akan aku lakukan bersama Papa hari ini sejak berminggu-minggu yang lalu setiap kunjunganku ke toko roti milik Chef. Aku bahkan menceritakan kepada semua orang di dekatku tentang hari spesial yang aku tunggu-tunggu ini.
Chef mengedipkan sebelah matanya ke arahku. "Have fun with the drama musical performance, Wingga!"
"Of course!" jawabku penuh semangat. Satu detik kemudian, aku mengangkat tanganku menutupi bibir agar tidak terlihat oleh Papa. "Jangan khawatir Chef, aku akan menceritakannya padamu nanti," bisikku pada Chef, membuatnya tertawa terbahak-bahak. Papa yang tahu apa yang kukatakan juga tak bisa tidak tertawa.
Kamu terkejut karena aku terlihat sangat ceria di mimpi itu? Yeah, itu aku. I used to be that funny, though. Dan seperti yang sudah kukenali, mimpi indahku itu selalu berhenti pada tawa Papa. Yang terjadi selanjutnya adalah tiba-tiba semuanya tampak kabur, hingga berubah menjadi putih bersih. Bukan tanda mimpi itu berakhir, tetapi justru inti dari rangkaian mimpi itu ada disini.
Dari sekelilingku yang putih bersih, mendadak ada segerombol bayangan-bayangan hitam yang beterbangan, mengerikan, dan sangat menyeramkan. Gerombolan bayangan hitam itu mendesakku sampai aku tidak punya jalan apapun selain menghadapinya. Aku merasa sudah berteriak-teriak sekuat tenaga, dan berusaha menggerakkan tangan untuk menghalau bayangan-bayangan hitam itu, tapi tidak bisa. Tidak ada gerakan sama sekali dari tubuhku, dia seolah mati.
Selama beberapa menit, aku didesak, ditekan seolah-olah tercekik, dan tidak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkan diriku sendiri. Lalu di menit terakhir, aku akan bisa melihat dimana aku sedang berada. Mataku seolah sudah membuka, dan melihat dengan jelas sebuah bayangan hitam duduk di depanku, tapi tetap tidak bisa melakukan apapun.
Dan di detik-detik terakhir ketika aku merasa hampir mati, aku mampu benar-benar membuka mata, meski dengan dada sesak, nafas tersengal-sengal, dan muka sepucat batu pualam. Yang langsung kusimpulkan adalah lagi-lagi aku mengalaminya, apa yang orang-orang bertitel medis kenal dengan sebutan sleep paralysis.
Ketika mataku benar-benar membuka, yang juga langsung aku kenali adalah bau antiseptik yang segera membuatku menyimpulkan sedang dimana aku sekarang. Mereka bahkan memasang selang oksigen di bawah hidungku. Aku melepaskannya dan bangun dari baringku. Kenapa tiba-tiba aku ada disini?
. . .
To be continued.
Ini bukan novel thriller gengs. Jadi jangan dikira yang mengejar Wingga beneran hantu yah. Hahaha
Makin penasaran sama Wingga nggak? Good news, seperti episode Alana sebelumnya yang dua kali, kali ini episode Wingga juga dua kali.
Jangan lupa vote and comment yaaa. See ya next Tuesday!
KAMU SEDANG MEMBACA
Too Far to Hold [COMPLETED]
Roman pour Adolescents[Proses Terbit] "Kamu sangat dekat hanya dalam mimpiku" Novel dua sudut pandang by Fifi Alfiana Alana You just can help someone that he wants to be helped. Trust me, semua orang yang berusaha membantunya akan gagal. I can't believe even to m...