Episode #36: Apa yang dia sembunyikan?

17.9K 1.3K 55
                                    

The sadness is demanded to be felt, you know  

. . .

Wingga

Apakah memang benar-benar tidak ada bedanya, antara sebelum aku menceritakannya ke Alana dan setelah aku selesai bercerita?

Definitely, there is.

Mendadak nafasku terasa tidak seberat sebelumnya, hatiku tidak sesesak sebelumnya, dan isi kepalaku tidak sekacau sebelumnya.

Drama musikal yang selalu muncul di mimpiku adalah terakhir kalinya Papa sangat baik padaku. Aku tidak pernah tahu apa yang menyebabkan perubahan sikap Papa padaku. Dari drama musikal itu, aku kemudian percaya, bahwa ketika segala hal terasa sulit untuk menggapai mimpimu, cukup pejamkan mata dan menyaksikan mimpi itu menjadi nyata dalam pejaman matamu. Maka akan muncul energi-energi tak terduga yang menyelinap ke hati. Tapi sejak saat itu juga aku lupa bagaimana cara memunculkan energi-energi tak terduga itu dari pejaman mataku.

Dan mendadak hari ini aku merasa ada sepercik energi-energi tak terduga itu menelusup dalam pejaman mataku. Entah darimana asalnya energi itu, aku hanya tiba-tiba merasa lebih kuat. Apakah ada hubungannya dengan Alana? Bisa jadi. Tapi apa hubungannya?

"Lo ngapain pernah pura-pura bahagia?" tanyaku ke Alana setelah perdebatan kita tentang psikolog usai.

"Hm?"

"Pura-pura lupa?" aku meliriknya sinis.

Alana tersenyum kecil tanpa menatapku. "Itu dulu pas Mama gue meninggal, Ngga,"

"Hah?"

"Inget nggak, ada kecelakaan pesawat Malaysia Airlines Penerbangan 17 yang jatuh di Ukraina? Dulu gue baru lulus SD,"

Mataku membulat kaget. "Mama lo termasuk salah satu penumpangnya?"

"Iya. Makanya gue pernah nangis gulung-gulung sampai pingsan berkali-kali, eh trus malah nggak bisa nangis habis itu," Alana bercerita dengan tenang, apakah dia sedang berpura-pura?

"Lo lagi berpura-pura baik-baik saja?" tanyaku akhirnya.

Alana menggeleng cepat. "Enggak," dia kemudian tersenyum. "Gue kalo sedih, langsung aja nunjukin sedih, kalo keinget atau kangen sama Mama, langsung aja nangis. The sadness is demanded to be felt, you know,"

Aku tersenyum menatap Alana yang masih tersenyum meski tanpa memandangku. "Gue jadi merasa masalah gue nggak ada apa-apanya,"

"Nggak boleh gitu Ngga, kekuatan endurance setiap orang kan berbeda-beda, cobaannya pasti juga beda," Alana kini cemberut melirikku sinis. "Lo jadikan motivasi dong, gue aja bisa, masa lo nggak bisa," ejeknya kemudian.

"Ck, hah, kalah gue," decakku kesal.

"Belum, kalo lo masih nggak mau ke psikolog baru kalah telak,"

Aku tertawa kecil. "Bener juga,"

"Jadi, ke psikolog? Deal?"

"Gue pikir-pikir dulu deh,"

Alana memasang ekspresi cemberutnya lagi. "Susah emang ya Ngga, lo sendiri nggak mau ditolongin, ngerasa nggak butuh banget dibantuin?"

"Bukan gitu,"

"Trus apa? Jangan bilang lo masih merasa lo baik-baik saja," ujar Alana bersungut-sungut.

"Lo kok nyinyirin gue?"

"Biarin! Itu fakta kan!"

Entah kenapa, aku selalu bisa bercanda dan tertawa kalau sedang mengobrol dengan Alana Kenisha. Seperti detik ini, ketika seharusnya kita saling bersimpati pada masalah masing-masing, justru candaan-candaan ringan lah yang muncul ke permukaan.

"Jadi, sekarang udah boleh panggil dokter?"

Aku menatapnya sambil menahan tawa. "Emang tadi gue bilang nggak boleh ya?"

Alana memberengut lagi menatapku, lalu dia beranjak dari tempatnya duduk untuk memanggil dokter. Aku mendapati tas kamera Alana tergantung di punggung kursi tempatnya duduk. Mendadak, aku penasaran pada foto dan video yang diambil oleh Alana Kenisha selama kita refreshing dan jogging. Alhasil, aku meraih kamera itu lalu menyalakannya.

Ternyata foto-fotoku yang ada disana tidak hanya ketika kita bertemu, tapi juga ada fotoku ketika sedang bereksperimen di laboratorium, yang aku bahkan tidak tahu kapan dia mengambil fotonya.

Tidak lama kemudian, Alana datang. "Dokternya masih periksa pasien lain, nanti kesini kalo udah selesai," ujarnya kembali duduk di kursi samping tempat tidurku.

"Lihatin apa?" tanyanya, menengok apa yang aku lihat di kameranya.

"Lo kenapa suka banget motret gue ya btw?" aku justru kembali bertanya, masih sambil menekan tombol geser kanan untuk melihat foto-foto lainnya.

"Hah?"

"Banyak banget foto gue di kamera lo,"

"Kan kita jalan-jalan bareng, jelas dong banyak foto lo," ujarnya sambil melirikku sinis. "Logikanya dipakai dong medalist Olim,"

"Sebelum kita jalan-jalan bareng kan juga banyak,"

Alana tercekat menatapku. "Maksud lo apa Ngga?" suaranya terdengar parau, seolah-olah dia benar-benar tidak menyangka dengan apa yang kukatakan.

Pertanyaannya itu sekaligus menyadarkanku bahwa aku mengucapkan kalimat yang salah. Damn it. Aku keceplosan.

Belum aku angkat bicara, Alana menatapku tajam sambil bertanya, "Jadi, lo buka kamera gue minggu lalu, Ngga?"

Melihat ekspresinya yang sepertinya sangat marah, aku berujar, "Sorry ya gue lancang Al,"

Alana kaget bukan main. "Lo kok bisa-bisanya sih Ngga? Gue kan udah bilang please tolong jangan dibuka,"

"Emang kenapa? Toh foto di kamera lo kebanyakan juga foto gue,"

Alana kehilangan kata-kata. "Tapi tetap aja, lo melanggar privasi gue, itu kan kamera gue, hasil karya gue. Nggak cuma ada foto lo kan, banyak foto yang lain," Alana berdiri dari tempat duduknya. "Lo keterlaluan Ngga,"

Dia marah luar biasa detik ini, nah aku sama sekali nggak marah dia mengambil banyak fotoku dan buka postcard-ku tanpa merasa bersalah sedikitpun, tidak ada kata maaf sama sekali. Hey, siapa yang lebih bersalah disini?

"Lo lebih parah Al, diam-diam ambil foto gue, baca postcard dari Papa gue juga,"

"Iya gue juga salah. Gue minta maaf,"

Dia minta maaf, tapi tidak ada nada bersalah di kata-katanya.

Aku mencoba bergurau. "Gue nggak lupa ingatan kok setelah buka kamera lo, nggak digigit atau dicakar juga sama kamera lo,"

Alana tidak tersenyum, bahkan tertawa. Lalu dia menyambar kameranya yang ada di tanganku. "Sorry Ngga, gue pulang dulu ya,"

"Sekarang? Sekolah kan belum selesai, lo dikira bolos nanti Al.." dia tidak memperdulikan ucapanku, menyambar jaketnya yang tersampir di kursi, dan berjalan meninggalkan IGD.

Aku hampir akan beranjak menyusulnya, tapi ternyata kepalaku luar biasa pusing saat aku mencoba berdiri. Aku benar-benar tidak paham. Apakah harus sebegitu marahnya hanya karena masalah simpel seperti ini? Apakah kesalahanku sangat tidak termaafkan, sampai dia semarah itu dan harus pergi sekarang juga?

Apa sebenarnya yang terjadi padanya? Apakah ada yang dia sembunyikan?

. . .

To be continued~

Halo semua~ maaf ya telat banget upload-nya. hihihi Satu episode lagi nih udah tutup buku di wattpad!

Pengumuman soal yang menang tebak-tebakan, aku upload di episode terakhir setelah ini yaa~ Atau kalo engga di extra part selanjutnya atau cuap-cuap ku selanjutnya hehe. Dan fotonya udah aku bikinin dari hari minggu kemarin, karena mumpung lagi pengen jalan jadi sekalian. Maaf ya kalian nggak bisa request tulisan jadinya.. Tapi yang aku tulisin juga dari hati kook #eeaaa

Fotonya langsung spamming disini atau aku upload ke IG aja ya kaya kemarin?

fifi.alfiana

Too Far to Hold [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang