2. Wanita Itu

2.9K 297 27
                                    

"Hh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hh.."

Aku menghela nafas sambil merebahkan diri di kasur kesayanganku. Lelah. Padahal aku hanya mendatangi resepsi pernikahan Jenara dan Fabian. Kalau saja mereka bukan sahabatku dan Ochi tidak mengancamku, aku tidak akan datang. Bayangkan saja, seharian aku harus menahan gemetar hebat di sekujur tubuhku karena pernikahan. Sekarang aku kelelahan.

Mereka sungguh tega. Mereka tahu kalau aku tidak bisa menghadiri pernikahan, tapi tetap memaksaku.

Kalian tidak salah membaca kok. Aku, Jessi, memang tidak bisa menghadiri pernikahan. Entah ini disebut apa, tapi setiap aku menghadiri pernikahan, jantungku berdegup keras, keringat mengucur deras dan lututku melemas. Belum lagi, kalo ada sesi seperti tadi.

Buket bunga yang ku dapat tadi, ku geletakkan begitu saja di atas lemari dekat pintu masuk kamarku. Sebenarnya, aku menyukai buket bunga yang kudapatkan. White Rose and Baby Breath. Namun begitu mengingat darimana kudapatkan dan mitos dibalik mendapatkan buket ini membuatku merinding.

Ponselku berdering. Dengan malas aku bangkit dari rebahanku dan meraih clutch yang tadi ku bawa ke pesta Jennie dan Hanbin. Begitu ponsel yg terus mengunkan nada dering itu ku ambil, terpampang sederet nomer, yg meskipun tak kusimpan, aku sangat mengenalinya.

"Hmm," jawabku begitu menggeser tombol hijau dilayar.

"Sedang apa?" tanya penelpon itu.

"Tidur," jawabku singkat.

"Aah, apa Ibu mengganggu waktu tidurmu?"

Ya. Penelpon ini adalah ibuku. Ibu kandungku. Mungkin kalian bertanya kenapa aku tak menyimpan nomernya dan memberikan nama untuknya. Aku, punya alasan.

"Begitulah. Ada apa?" tanyaku seramah mungkin. Berusaha lebih tepatnya.

"Maafkan Ibu mengganggu tidurmu. Ibu tadi mencoba menelepon Jihan, tapi tidak diangkat. Apa Jihan sudah tidur? Bisa tolong bangunkan? Ada hal yang ingin Ibu bicarakan dengannya," jawab wanita itu.

Ini. Salah satu alasanku tentang pertanyaan kalian tadi. Tapi ini satu dari sekian alasan yang membuatku sakit hati sampai mati rasa terhadap wanita ini. Meskipun begitu, aku masih menyimpan sedikit rasa hormatku padanya. Setidaknya, sebagai rasa terima kasihku karena telah melahirkanku.

"Sebentar," jawabku singkat.

Aku berdiri keluar kamar menuju kamar sebelahku, kamar Sua. Aku mengetuk pintunya dua kali tanpa irama, tapi tak ada respon. Sepertinya gadis itu sudah menikmati mimpinya. Untuk memastikan, kucoba memanggil namanya.

"Jihan? Jiji.. Dek?" ujarku memanggilnya dari luar kamar.

Ku lirik jam digital dilayar ponselku menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Karena tak ada sahutan, sepertinya gadis itu memang sudah terlelap.

Aku tak lagi berusaha membangunkannya. Aku sangat tahu kalau Jihan pasti lelah dengan sekolahnya yg fullday itu. Dengan menyeret langkah, aku kembali ke kamar sambil menempelkan layar ponselku ke telinga.

Marriage Phobia | 𝕱𝖎𝖓 ﹝✔﹞On RevisingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang