"Jadi itu benar kau?"
Ben berulang kali menanyakan hal yang sama. Aku hanya tersenyum. Bahkan aku tak benar-benar ingat pernah bertemu dengannya. Apalagi menolongnya.
"Jess, apa kau benar-benar pernah ke restoran yang ku ceritakan tadi?"
Aku tersenyum datar. Sejujurnya, restoran yang disebutkan Ben adalah restoran yang tak ingin kuingat lagi. Kenapa aku harus mengingat sebuah tempat yang hanya akan menggarami luka lamaku?
"Memangnya, kenapa kalau aku pergi ke restoran itu?" tanyaku.
Wajah Ben berubah. Kali ini bibirnya melebarkan senyuman. Aku sama sekali tak mengerti apa yang ada di pikiran lelaki satu ini. Bukankah sebelumnya dia tampak menakutkan? Yah, meskipun akulah yang menamparnya. Tapi kenapa dia begitu penasaran dengan restoran itu.
"Bukan apa-apa," jawab Ben lalu tersenyum lagi padaku.
Mau tak mau, aku pun ikut tersenyum.
"Jess, gomawo.."
Aku menoleh dan mengerutkan keningku. Untuk apa dia berterima kasih?
"Untuk?" tanyaku.Ben mengangkat telapak tangan kanannya yang diselimuti perban. Aku kembali tersenyum. Aku merasa itu bukan sesuatu untuk dibesar-besarkan. Jadi kurasa ucapan terima kasihnya itu tak perlu.
"Bukan hal besar. Anggap saja permintaan maafku," ujarku.
Kali ini giliran Ben yang mengerutkan keningnya.
"Maaf?" tanyanya sambil tampak berpikir lalu dia tersenyum dan berkata, "Aaa.. karena menamparku?" sambungnya.
Aku mengangguk. Terus terang aku merasa tak enak padanya setelah menamparnya. Lagipula, baik aku maupun dia juga tak benar-benar tahu apa yang terjadi. Entah siapa yang dibodohi disini. Aku, Ben atau justru kami berdua. Karena itulah aku merasa bahkan menamparnya kemarin adalah sesuatu yang berlebihan.
Ben tertawa kecil.
"Mungkin, tamparan itu memang pantas ku terima. Bukan karena aku mengakui suatu hal yang tak kulakukan, tapi berkat tamparanmu aku sadar. Bukan hanya aku saja yang terluka," ujarnya.Aku pun ikut tersenyum tipis.
"Jadi.., apa kita sekarang berteman?" tanya Ben padaku sambil mengulurkan tangannya yang berbalut perban.
Aku mengangguk dan alih-alih menyambut tangannya yang terbalut perban, aku meraih tangan kirinya yang baik-baik saja sambil berkata, "Ya. kita teman sekarang." sambil tersenyum.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Phobia | 𝕱𝖎𝖓 ﹝✔﹞On Revising
Fanfiction[semi-FF] Aku tak pernah berpikir tentang pernikahan. Tidak pernah berpikir sejauh itu, lagi.. - Jessica Pernikahan itu traumatic - Ben ::disclaimer:: Cerita ini sedang dalam revisi. Kembali, segala tokoh dalam cerita tak ada hubungan apa pun di rea...