Chapter 11

144 14 0
                                    

Seung In baru saja didandani oleh perawatnya. Rambutnya yang tadi agak berantakan kembali dirapikan oleh perawat tersebut yang sudah 9 bulan ini  bekerja sebagai asisten pribadinya di rumah ini.

"Sudah pukul lima sore. Biasannya Kwon Jiyong datang kan?–semenjak peristiwa kecelakaan itu terjadi Jiyong mulai tinggal bersama Seung In dan adiknya kerena Seung In tidak dapat berbuat apa apa lagi sekarang selain bicara keputusan ini dia ambil karena dia sangai mencintai Seung In– Sekolah pasti sudah selesai,"

Seung In hanya tersenyum dengan sorot matanya yang sendu. Ia melihat ke arah jam, sudah lewat pukul lima sore.

Seungri akhir-akhir ini jarang menemuinya lagi. Ia tidak tau apa yang terjadi pada adiknya itu.

Selalu ada alasan jika dusuruh kembali pulang ke rumah. Padahal Seung In sangat menyayangi adiknya itu.

Sekarang ia dan Jiyong tinggal 'sendirian' di rumah Seung In. Tragedi satu minggu yang lalu meluluhlantakkan keluarga mereka (Seungri dan Seung In).

Selain kecelakaan yang menimpa dirinya dan Seungri, keadaan ayahnya sudah mulai kritis dan sehari kemudian beliau meninggal dunia.

Eomma nya yang sangat shock dengan semua kejadian ini, akhirnya jatuh sakit dan mengalami depresi berat.

Baru tiga hari yang lalu sang ibu akhirnya menghembuskan napas terakhirnya. Tidur dengan damai di kamar sambil memeluk jas suaminya.

Musibah beruntun ini benar-benar berat bagi Seung In dan Seungri. Mereka tidak punya keluarga dekat.

Nenek dan kakek mereka tinggal di Eropa dan hanya pada hari pemakaman ayah dan ibunya saja mereka datang ke Korea.

Kini keduannya dalam perlindungan dan pengawasan paman mereka satu satunya, Song Jong Ki *pecinta drakor mana suaranyaaa??* adik dari ibu mereka yang baru berusia 24 tahun yang meninggalkan kantor utamannya di Cina untuk mengawasi dua keponakannya yang masih di bawah umur.

Song Jong Ki selalu pulang setiap dua minggu sekali, membawakan oleh-oleh dari setiap negara yang ia kunjungi.

Ia mendatangkan beberapa orang asisten untuk membantu keperluan Seung In, Jiyong, dan Seungri.

Kecelakaan di malam itu merenggut segalannya dari Seung In. Segalanya, kecuali nyawanya. Truk yang mereka tabrak meremukkan Hyundai yang dikendarai Seungri dan meremukkan tubuh gadis itu.

Dari ujung kaki hingga bahu, ia tidak bisa merasakan apa apa lagi. Cacat permanen. Ia hanya bisa menggerakkan wajahnya, dan untung ia tidak kehilangan suara, penglihatan, pendengaran, dan penciuman...

Tapi kecantikannya–satu hal yang sangat ia banggakan–juga telah hilang.

Wajahnya penuh luka bekas jahit dan ia menolak untuk operasi plastik untuk mengembalikan kecantikannya.

Seung In pikir itu hal yang sia-sia. Karena, toh badannya sudah tidak bisa berfungsi normal lagi.

Mungkin dari semua hal yang menyedihkan ini, yang mengalami keajaiban hanyalah Seungri. Meski ia ada di balik kemudi, ia tidak mengalmi luka yang serius.

Memang bagian kaki dan lengannya ada yang harus dijahit, begitu pula punggungnya yang harus menerima 50 jahitan karena terkena pecahan kaca.

Seung In iri. Ia benar benar iri pada adiknya. Tiap kali ia melihat Seungri masuk ke dalam kamarnya, ia selalu ingin berteriak dan melemparkan bantal pada Seungri atau apapun yang ada di dekatnya intuk dilemparkan pada Seungri agar menghilangkan sedikit rasa sakit di dadanya.

Seung In tidak tahu rasa apa itu sebenarnya, tapi tiap kali Seungri berlalu dari kamarnya, ia selalu menangis.

Seung In mengerjapkan matanya ketika didengarnya suara ketukan pintu di depan kamarnya.

"Chagiya, boleh aku masuk?," itu suara Jiyong.

"Masuklah,"

"Wow! Kau sangat cantik chagiya," puji Jiyong sambil mengecup kening Seung In.

"Oppa, kemana perginya Seungri?," tanya Seung In dengan sorot mata menunggu.

Jiyong menjernihkan kerongkongannya terlebih dahulu. Ia menggeleng, sambil mengambil tempat duduk di sebelah kanan bed Seung In.

"Seungri sedang berlatih sepak bola..."

Seung In menaikkan alisnya. "Benarkah?,"

Jiyong mengangguk, tanpa menatap ke arah kekasihnya itu.

Hening sesaat.

Seung In mendengus. "Geodjitmal *kau bohong*. Aku tahu itu!,"

Bibir Jiyong bergetar. Ia tetap ingin melanjutkan kebohongannya, tapi pertengkarannya tadi siang di sekolah dengan Seungri kembali berputar di otaknya.

"Apakah Seungri membenciku?," Seung In tetap menatapnya, tak sekalipun mengalihkan pandangannya dari sang kekasih.

Jiyong terpaksa menatap sorot tajam kekasihnya. "Chagiya, sebenarnya Seungri....,"

"Dia membenciku kan?," potong Seung In dingin.

Jiyong menundukkan wajah.

"KWON JIYONG OPPA! TATAP AKU! JAWAAB!," bentak Seung In tiba tiba.

Jiyong tersentak. Ia mengangkat wajahnya dan Seung In bisa  melihat kini kalau mata kekasihnya itu memerah.

"Mianhae Seung In-ah....," ucap Jiyong lirih. Kedua tangannya menggenggam kedua tangan kekasihnya erat, seolah tidak ingin kalau dia jatuh pingsan.

"Kau tahu aku sudah tidak bisa merasakan apapun?," mata Seung In berkaca-kaca menatapnya.

"Sia-sia saja kau pegang tanganku seperti itu," suara Seung In semakin pecah tercampur dengan tangis.

"Seung In-ah, jeongmal mianhae...," Jiyong tetap menggenggam kedua tangan Seung In, semakin kencang kini.

Melihat kekasihnya menangis, Jiyong tak bisa lagi membendung apa yang mencengkeram di dadanya.

Dia paham betul apa yang kekasihnya saat ini rasakan.

Kehilangan seseorang yang sangat kita sayangi–terlebih itu saudara kandung yang dari kecil selalu bersama–orang yang paling berharga dalam hidup kita. Orang yang membuat kita kuat dan selalu membuat kita berusaha mempertahankan hidup kita untuknya. Pergi. Pergi begitu saja tanpa alasan yang jelas.

Ia telungkupkan wajahnya di atas tangan Seung In, terisak sambil tak hentinya meminta maaf, sementara Seung In  berteriak. Menagis meraung-raung sampai tersedak.

Perawat pribadi Seung In masuk ke dalam ruangan. Disusul oleh koki mereka, dan mereka berdua sibuk menenangkan kedua anak itu.

***

~Tbv~

Love, Blood, Tears(COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang