Dihembuskannya nafas kencang dari mulutnya dan menata debaran jantung yang melonjak-lonjak tak karuan, matanya tertuju keargo taksi dan merogoh dompet mengeluarkan sejumlah uang sesuai yang tertera diargo itu.
"Terima kasih pak," senyumnya dan menerima koper kecil yang dikeluarkan sopir taksi dari bagasi mobilnya.
"Sama-sama Non," dan asap hitam beterbangan diudara sepeninggal taksi barusan.
Langkahnya terpaku didepan pagar rumah masa kecilnya, kembali dilayangkan pandangan menyapu keseluruhan rumah, tak ada yang berubah kecuali dindingnya yang baru dicat, selebihnya masih persis sama seperti ditinggalkan lima tahun yang lalu. Sekelebat bayangan masa lalu bermain dimemorinya dan langsung ditepisnya dengan kasar. Ia tidak boleh mengingat kenangan itu jika tak ingin kakinya berbalik arah meninggalkan tempatnya berdiri saat ini. Aku pasti bisa!! Ini demi kakakku, kak Janeta dan ini adalah peristiwa bersejarah dalam hidupnya, sebagai adik satu-satunya aku harus hadir dipesta pernikahannya, tidak boleh tidak apapun alasannya!! Tekadnya.
Dengan hati yang mantap dibukanya pintu pagar dan melangkah masuk kehalaman, beberapa mobil tampak berjejer rapi dihalaman yang tak begitu luas, sebagian mobil yang tak mendapatkan tempat dihalaman bersusun rapi dipinggir jalan depan rumahnya.
Gadis itu melangkah cepat mencapai pintu, ia berharap semoga acaranya belum dimulai. Dibukanya flatshoes yang dipakainya dan disimpan rapi bersisian dengan sepatu dan sandal lain yang banyak berserakan didepan pintu. Dilihat dari banyaknya jumlah pasang alas kaki diluar bisa dipastikan banyak orang didalam rumahnya saat ini.
"Assalamualaikum, bun....bunda...." teriaknya sambil melangkah masuk melintasi ruang tamu sambil menyeret kopernya.
"Waalaikum salam," serempak terdengar jawaban dari dalam rumah, semua yang ada diruang keluarga mengangkat wajah kearahnya. Gadis itu menghentikan langkah dan mengangguk sopan pada semua tamu yang hadir.
Ruang keluarga telah disulap menjadi tempat akad nikah, sofa keluarga telah disingkirkan dan karpet cantik tergelar memenuhi ruangan dan ada meja rendah yang diletakkan ditengah-tengah. Matanya meneliti semua yang hadir, tampak para Om dan Tante dari pihak ibunya duduk dikarpet dan sebagian lainnya tak dikenalnya, mungkin mereka adalah keluarga dari pihak mempelai pria.
Matanya bersirobok dengan sosok lelaki muda memakai stelan putih yang duduk bersila dipojok ruangan, dari postur tubuhnya bisa diperkirakan ia tinggi, putih, rahang tegas, mata tajam dan sepintas lalu bisa dinilai....tampan. Wah Janeta pasti bahagia mempunyai calon suami yang gagah seperti itu.
"Nita, kenapa baru sampai?" Arini, bundanya bangkit dari duduknya dan menghampiri anak gadisnya yang baru tiba.
"Maaf bun, semalam Nita ketinggalan pesawat jadi terpaksa nunggu penerbangan subuh. Itupun nginap dibandara takut ditinggalin lagi," cengirnya, ia mencium tangan bundanya dan memeluk perempuan baruh baya itu.
"Ayah," gadis itu beralih mencium tangan ayahnya dan memeluknya.
"Maaf Yah, Nita baru datang sekarang," Ayahnya mengangguk memaklumi, "Neta mana? Akadnya belum dimulai kan?" matanya mencari-cari sosok kakaknya, "Ah iya, pasti kak Neta dikamar, kan belum boleh keluar sampai ijab kabul," ucapnya sambil menepuk jidatnya.
"Oh iya, Pak Hamid dan Bu Hamid, ini Jenita adiknya Janeta," Pak Jamil memperkenalkan anak keduanya pada besannya.
Nita berjalan dengan lutut dan menyalami calon mertua kakaknya, "Om, tante saya Nita," ucapnya dan menangkupkan kedua tangan didada menyapa calon suami kakaknya yang menatapnya tajam, kemudian Nita beralih menyalami om dan tantenya.
Suasana terasa agak tegang dan mencekam karena semuanya terdiam, Nita mengernyit menyadari keanehan ini, apalagi dilihatnya wajah-wajah tegang dan kaku semua orang. Seharusnya mereka gembira karena hari ini hari bahagia, tapi kenapa semua orang seperti mengkhawatirkan sesuatu?
Nita meneliti penampilannya, dengan kaos putih dan skinny jeans hitam serta jaket jeans yang diikatkan dipinggang ia kelihatan mencolok diantara mereka yang memakai kebaya dan batik.
"Bun, Nita mandi dulu ya gerah nih dari semalam nggak ketemu air, penghulunya belum datang kan?" bundanya mengangguk dan menatap punggung anaknya yang menaiki tangga sambil menggeret koper.
"Tampaknya anak itu solusi masalah kita," ucap pak Hamid dengan matanya mengarah ketangga yang baru saja dinaiki Nita.
"Tapi Pak, dia tak tau apa-apa dan lagipula Nita baru sampai," Arini tampaknya keberatan dengan usul besannya.
Pak Hamid menghela nafas, "Tak ada jalan lain, pestanya harus tetap berlangsung dan saya tidak mau menanggung malu sebesar ini. Harus ada yang dikorbankan Pak Jamil," Pak Hamid menatap besannya dengan tajam, "atau anda punya jalan lain?" Pak Hamid menoleh pada anak lelakinya, "Bagaimana Ndra?"
"Saya mengikut aja gimana baiknya," sahut sang mempelai pria pasrah.
Pak Jamil menatap istrinya meminta pengertian, walau bagaimanapun ini adalah kesalahan keluarganya dan ia harus mempertanggung jawabkan meski berat, mengorbankan anak yang lain atas kesalahan anak yang satunya. Dan bila tak dilakukannya bukan hanya keluarga besar Hamid yang mendapat malu tapi juga keluarga besarnya.
"Baiklah, Bu suruh Nita berpakaian sebentar lagi acara dimulai," putusnya dengan mata terpejam.
"Tapi Yah," Arini bungkam seketika mendapat pelototan tajam suaminya, ia menggamit tukang rias yang sudah hadir semenjak pagi untuk mengikutinya kelantai dua.
Nita yang baru selesai mandi mengernyit mendapati bundanya sudah berada dikamarnya, ia juga heran dengan kehadiran penata rias yang sedang mempersiapkan alat-alat tempurnya.
"Ini untuk siapa Bun?" tunjuknya mengarah kekebaya putih yang tergeletak diatas ranjang lengkap dengan bawahan kain batik hijau motif bunga-bunga.
"Cepat persiapkan, penghulunya sudah datang!" perintah Arini tanpa menjawab pertanyaan anaknya.
"Baik nyonya," laki-laki kemayu itu segera beraksi dibantu temannya yang berjenis sama dengannya, mereka melaksanakan perintah Arini dengan cepat tanpa mempedulikan protes Jenita. Lagipula Jenita akhirnya pasrah karena sangat lelah dan menahan kantuk yang menyerangnya sejak semalam.
"Cantik ," puji sang perias sambil meneliti hasil karyanya.
Jenita hanya mengernyit tak mengerti kenapa ia harus memakai pakaian seperti itu. Harusnya ia memakai pakaian yang sama seperti yang dipakai bundanya karena ia adiknya mempelai perempuan, tapi kenapa ini beda? Belum lagi dengan make-up tebal yang melumuri wajahnya dan untaian melati yang memenuhi rambutnya yang disanggul.
"Mas eh mbak eh Seus, kenapa saya dipakaiin baju kayak gini? Seharusnya inikan dipakai sama Neta?"
Meskipun tak pernah menghadiri akad nikah tapi Nita tak terlalu oon untuk paham dengan pakaian yang dipakainya. Tiba-tiba suara dari lantai bawah bagai petir menghantam telinga Jenita.
"Saya terima nikah dan kawinnya Jenita Andriani binti Jamil Suryana dengan maskawin tersebut dibayar tunai!"
***
hallo readers... baru part satu nih, jadi dirasa-rasain dulu yaaa
Oke.. next part dua nyaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Replacement Wife
RomanceREVISI (BEBERAPA PART DIHAPUS) Jenita hanya mengernyit tak mengerti kenapa ia harus memakai pakaian seperti itu. Harusnya ia memakai pakaian yang sama seperti yang dipakai bundanya karena ia adiknya mempelai perempuan, tapi kenapa ini beda? Belum l...