Hari itu Luna menatap jendela kelasnya nanar, tak bersemangat, berkali-kali menghembuskan nafasnya dengan keras, berharap akan ada seorang laki-laki yang tengah lewat dan mengetuk kaca jendela kelasnya dengan heboh, setiap hari seperti dulu.
Tok! Tok! Tok!
"Lunaaa main yuk." Teriak laki-laki itu.
"Bu! Namanya Raja Dias Abimantrana Bu! Kelas 10 IPS 2!" yang kemudian disusul temannya.
Setiap hari.
Setiap hari tanpa lelah laki-laki itu selalu mengajak Luna bermain melalui jendela kelasnya, tanpa pernah menyapa Luna sungguhan ketika mereka bersitatap di koridor.
Yang setiap harinya juga meninggalkan rasa penasaran yang tidak dapat Luna hindari.
"Luna?" suara seorang wanita dengan lembut memasuki gendang telinganya, membuat Luna terkesiap dan segera bangkit dari lamunannya.
"Maaf Bu, kenapa ya?" tanya Luna.
Guru muda yang tengah berdiri di depan kelas 11 IPA 3 tersebut hanya tersenyum maklum.
"Kamu kenapa liatin jendela terus?" tanya Bu Tiara.
"Eh? Gapapa kok Bu." Jawab Luna tergagap, haduh kok jadi gagap gini sih!
"Luna nungguin Dias Bu!" teriak salah seorang laki-laki di kelasnya itu, Nio.
Dan seketika suasana kelas yang tadinya hening berubah menjadi ladang bisik bagi siapa saja yang memiliki kesempatan, dan semuanya punya. Iya, memang tidak ada yang tau ada hubungan apa Luna dengan si Dias-Dias itu. Yang tau hanya dirinya sendiri, dan segelintir teman kelasnya waktu kelas 10 yang dulu menjadi saksi bagaimana setiap harinya Dias mengajak Luna bermain dari jendela kelasnya.
Lagipula, perihal semua orang tau tentang hubungannya tidak penting juga, yang penting Luna sendiri tau. Luna tau persis kapan semua itu dimulai, dan tau persis juga kapan semua itu berakhir. Bodoh, dia tau persis tapi kenapa sampai detik ini seoonggok hatinya masih menolak untuk menerima bahwa dirinya bukan lagi perempuan yang setiap hari akan Dias ajak bermain?
Bagaimana jika waktu itu.. Dias tidak pernah sekalipun mengetuk jendela kelasnya dan mengajak Luna bermain?
Bagaimana jika waktu itu.. Luna tidak peduli dengan perihal keberadaan Dias?
Bagaimana jika waktu itu.. Luna hanya menganggap Dias sebagai angin lalu yang bisa datang dan pergi kapan saja?
Pasti Luna tidak akan merasa kacau seperti sebulan belakangan ini, pasti Luna tidak akan menghabiskan berkotak-kotak tissue hanya untuk menemukan jawaban atas kepergian Dias yang tiba-tiba.
Mungkin benar, Dias hanya ingin mengajaknya bermain. Salah Luna, salah Luna yang terlalu serius larut dalam sebuah permainan.
"Luna, gamau istirahat?" tanya Kei, teman sebangkunya.
Oh udah istirahat ya? Bahkan Luna sudah menghabiskan 120 menit berharganya hanya untuk memikirkan Dias yang seharusnya sudah tidak berharga baginya.
"Duluan aja Kei, aku mau nyatet yang di papan tulis dulu." Jawab Luna, yang dijawab oleh anggukan kecil oleh Kei dan kemudian ia pergi, sebelum kemudian muncul lagi dan berkata, "Luna, ada Dias." Katanya pelan.
Tangannya seketika berhenti menulis. Dan ia berani bertaruh jika ia sekarang tengah berada di area Formula1, jantungnya pasti menang karena berdetak lebih cepat. Ia merasakan matanya memanas, cengeng! Bahkan hanya dengan mendengar namanya saja Luna berharap saat ini ia sedang berada di kamarnya bergelung dengan selimutnya dan menangis sekencang mungkin tanpa peduli akan ada orang yang mendengarnya. Namun ia tidak bisa, ia tidak boleh menangis sekarang. Jika ia bertemu Dias sekarang, pasti dia akan menangis saat ini juga. Jadi Luna diam, tidak beranjak dari kursinya untuk menemui Dias yang tengah menunggu di depan kelas.
"Luna?"
Jangan.
"Lun?"
Salah Dias, dari awal kamu memanggil nama itu kamu sudah salah.
"Luna aku masuk ya?"
Dari awal kamu menapaki lantai manapun untuk menuju aku, kamu sudah salah.
Dias disana, duduk terdiam di kursi yang hanya berjarak kurang dari 60cm di depan Luna, terlihat tenang. Sangat berkebalikan dengan Luna, ia berusaha keras menahan getar tubuhnya, terlalu banyak emosi di dalam tubuhnya. Emosi karena tidak dapat menatap mata itu, emosi karena tidak dapat memeluk laki-laki itu, emosi atas keinginannya untuk kembali ke hidup laki-laki itu.
"Luna aku kesini bukan untuk ngeliatin kamu natap meja."
Dan aku ke hidup kamu bukan untuk ngeliatin kamu berpaling dari aku, Di.
Tapi Luna tau, cepat atau lambat dia harus menghadapi laki-laki di depannya ini, dengan atau tanpa menghiraukan perasaannya, jadi Luna menatap laki-laki itu.
"Luna, aku..."
Otaknya bergerak dengan sangat cepat, dia mulai merapalkan segala hal yang diketahuinya tentang laki-laki itu. Segalanya.
Namanya Raja Dias Abimantrana. Punya kucing namanya Miw. Punya 1 adik laki-laki namanya Trev dan selalu memanggil Luna dengan sebutan Una. Dia suka susu coklat dengan gula 1 sendok makan ga lebih ga kurang. Dia suka strawberry, segalanya yang berhubungan dengan strawberry termasuk aroma strawberry parfum Luna. Suka bermain bola dan billiard. Suka buku dengan genre misteri karena suka memecahkan kode-kode, termasuk kode cewe katanya. Menyukai hal-hal yang lucu, seperti Luna, katanya.
Salah besar.
Salah besar Luna mengingat hal yang terakhir itu. Kalau dia menyukainya, kenapa dia pergi?
"Aku mau bilang kalau aku mau ngambil benda-benda milik aku, soalnya aku butuh. You know, jaketku, sepatuku—"
Namun Luna menjulurkan tangannya, membuat Dias bingung.
"Kenapa?" tanyanya.
"Bawa juga aku, bukannya katamu aku milik kamu? Apakah kamu udah ga perlu?"
Kali ini Luna yakin, dirinya sudah benar-benar gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemeral.
Teen Fictione·phem·er·al /əˈfem(ə)rəl/ adjective 1. lasting for a very short time.