VIII - this memories taste bitter than my coffee.

30 5 1
                                    

Hari ini Luna memutuskan untuk menemani Elang mengerjakan skripsinya yang entah kapan selesai di sebuah cafe bertemakan musim-musim di benua subtropis ini. Elang merupakan anak temannya ayah Luna, sekaligus tutor nya saat kelas 10 dulu, yang sekarang merangkap menjadi teman sepergabutan Luna.

Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore hari ketika Luna menginjakkan kakinya di cafe beraroma cinnamon ini. Yang langsung disuguhkan Elang dengan segelas kopi yang masih mengebul. Alih-alih langsung meminum kopi itu karena desakan udara dingin akibat hujan di luar, Luna malah menatap kopi itu geram.

"Saya gasuka kopi."

Elang melirik Luna, kemudian mengangkat sebelah alisnya heran.

"Udah gue bilang gausah saya-sayaan lagi," kata Elang sambil menatap laptopnya kembali, "Lagian juga lo biasanya selalu pesen ini kalo kita tutoring disini." Lanjutnya.

"Engga." Jawab Luna.

"Engga?" Tanya Elang bingung, kali ini laptopnya telah ia kesampingkan.

Engga pernah lagi sejak 3 bulan lalu.

"Engga, saya gapernah pesen ini lagi, udah dari lama." Jawab Luna.

"How am i supposed to know?"

"Ya ini makanya dikasih tau."

"Trus? Itu gimana dong? Gue beli pake duit loh."

"Ya masa pake beras."

"Makanya, jadinya bayar zakat dong kalo pake beras." Kata Elang sambil meraih kembali laptopnya.

Luna hanya mengerling ke arah Elang dengan tatapan tidak berminat akan jokes recehan Elang.

"Hehe, gausah serius-serius apa sih? Biasanya juga lo yang receh." Kata Elang mulai menyadari mood Luna yang sedang tidak bagus.

"Sekarang udah ga receh, udah jadi kartu kredit!" Kata Luna.

"Kan baru aja gue bilang."

Luna hanya diam saja tidak berminat untuk menanggapi ucapan Elang.

"Kenapa sih? What makes you suddenly hates coffee?" Tanya Elang yang berhasil melambungkan pikiran Luna ke suatu tempat.

Tempat yang didominasi dengan warna coklat dan tembok-tembok kayu beraroma--entahlah-- buat Luna sedikit menenangkan dan nyaman.

Segala hal di ruangan itu seperti terpampang jelas dihadapan Luna karena entah bagaimana Luna bisa mengingat jelas hal-hal yang ada disana.

Suasananya nature-nya, karpet beludru putihnya, Trevior dengan mulut penuh kuenya, dan Dias.

"Mau ngapain sih ini Di?" Tanya Luna begitu mendudukan dirinya di sofa ruang keluarga rumah Dias.

"Yayash ini ciapa?" Tanya seorang anak laki-laki kecil yang tiba-tiba muncul di hadapan Luna dan menunjuk Luna dengan jari mungilnya.

Luna menatap anak laki-laki itu sedikit terkejut menyadari sangat sedikit perbedaan yang ada diantara anak laki-laki itu dengan Dias. Seperti melihat Dias versi kecilnya dan versi menggemaskan.

"Haloo kamu namanya siapa?" Tanya Luna sambil tersenyum.

Anak laki-laki itu terkesiap, beberapa kali mengedipkan matanya sebelum akhirnya menjawab, "Lev," katanya sambil mengulurkan tangannya.

"It's Trev actually, tapi dia sendiri susah ngomongnya." Kata Dias membenarkan.

Luna seketika gemas sendiri melihat tingkah laku Trev yang menjulurkan tangannya untuk menyapa Luna. Luna buru-buru menyambar tangan kecil Trev.

Ephemeral.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang