Setengah senja terbaik versi Luna adalah kejadian 6 bulan lalu, di tengah semilir angin bulan November yang menerpa halus wajahnya. Luna tidak yakin kapan terakhir kali dirinya menikmati rasa mengigil di tengah musim penghujan seperti ini, tapi yang ia yakin, sekarang, ia menikmatinya, karena ia tidak sendiri.
Saat itu adalah saat dimana Luna merasa bahwa sebagian dari dirinya sudah benar-benar yakin dengan keputusannya, bahwa ia ingin disini. Luna ingin laki-laki itu membagi suka dan duka nya bersama Luna. Luna ingin menikmati setiap hal yang terasa benar barang sesaat saja, Luna ingin ada untuk Dias.
Dan sebagian dari dirinya lagi menolak untuk larut dalam alur-percintaan-konyol yang bisa pergi kapan saja seperti ini. Ia terlalu lelah menangisi apa-apa yang pergi tanpa pamit, apa-apa yang hilang karena memang hal tersebut hanya ditakdirkan untuk pernah ada di kehidupan Luna, bukan selamanya bersama Luna. Dan justru karena ini, karena semua kelelahan ini Luna ingin merasa hidup lagi, ingin merasa senang lagi tanpa beban yang selama ini terus ditahannya, dan saat itu, Dias mengulurkan tangannya.
"Luna?" panggil Dias sambil terus mengulurkan tangannya.
"Eh iya." Kata Luna yang tersentak dari lamunannya, dan buru-buru menyambar tangan Dias.
"Pelan-pelan abis ujan tangganya suka licin." Kata Dias serius, yang malah ditanggapi oleh Luna dengan tawa.
"Suka licin, hahahah. Penggunaan bahasa lo kenapa suka aneh gitu sih?" tanya Luna masih sambil tertawa.
"Ya soalnya kalo suka Luna itu mah Dias." Kata Dias dengan polosnya, membuat Luna menyoraki gombalan recehnya.
"Pulang aja gue lah." Kata Luna, "Males bergaul sama yang receh."
"Aduh Ibu Negara Luna buruan atuh, kita hampir tiba di markas besar Raja Dias."
Luna hanya tertawa mendengar celotehan nyeleneh Dias itu, ya mau protes gimana juga, namanya dia emang beneran Raja Dias.
"Jadi, ini tempat apa?" tanya Luna begitu menginjakkan kakinya di rooftop sebuah gedung yang menampakkan segala lalu-lalang ibu kota.
"I told you before, ini markas besar Raja Dias."
"Dan? Apa yang special dari markas besar Raja Dias ini?" tanya Luna.
"Gue. Gue yang special dari markas besar ini." Jawab Dias dengan pedenya.
"HAHAHA APAANSIH! Sebel." Kata Luna sambil memukul lengan Dias.
"Aduh jangan mukul-mukul dong! Aku ini rapuh Luna!"
"Ih lagian ya becanda mulu." Kata Luna kesal.
"Jadi Luna maunya diseriusin?" tanya Dias dengan wajah yang hampir Luna percaya bahwa Dias sedang serius.
Deg.
"Ah males becanda mulu! Orang nanya serius tadi." Kata Luna sambil memukul lengan Dias lagi.
"Aduh HAHAHAH tapi beneran! Kalo ga ada gue rooftop ini cuma rooftop biasa tanpa cerita."
"Jadi, setelah ada lo, rooftop ini punya cerita apa aja?"
Dias tersenyum, senyum yang membuat Luna seketika bertanya-tanya apakah pertanyaannya tersebut benar.
"That's what I'm gonna tell you." Kata Dias sambil duduk. "Sini duduk," ajaknya.
"AH BASAH." Teriak Luna ketika baru saja mendaratkan tubuhnya untuk duduk. "Lo kok ga bilang sih kalo basah?" protes Luna.
"HAHAHAHA lagian punya mata tuh dipake sih!! Itu kan sebelahnya kering." Kata Dias tidak mau disalahkan.
"Ish, males!" kata Luna sambil duduk di sisi yang kering.
"Jadi orang tuh jangan males mulu, kaya gue dong rajin. Rajin membuat Luna tertawa."
"Yang ada rajin bikin gue bete, itu baru lo!"
"Yaudah kita pulang aja kalo lo bete." Kata Dias seraya berdiri.
"Yaudah ayo." Luna mengiyakan.
"Ih gitu banget lo! Katanya tadi mau denger gue cerita!" kata Dias sambil cemberut.
Aduh, lucu banget, Luna gabisa kalo gini!!
"Ye makanya jangan drama, buruan cerita." Kata Luna berusaha biasa aja, tenang, Luna biasa aja kok.
"Ternyata mempan ngebujuk Luna pake wajah imut gue, emang sih kalo udah ganteng— aduh! Nih ya, Ibu Negara tuh ga ada yang sangar gini, Luna!! Lama-lama Dias cari selir kaya di drama korea yang sering lo tonton." kata Dias.
Luna hanya menatap Dias dengan tatapan 'if looks could kill' nya, yang membuat Dias terkekeh geli.
"Jadi, gue udah tau tempat ini dari kecil, dari masih peyek kaya kecebong—"
"Di, tolong bahasanya dikondisikan." Sergah Luna.
"Oh iya, ya pokoknya dari kecil lah. Klise—main layangan disini, bokap ga pengen kehilangan momen-momen ngajarin anaknya main layangan tapi dia harus kerja juga, jadi kita main layangannya disini—"
"Itu ga klise sih btw."
Dias cuma nyegir, kenapa sih hal-hal kecil kaya gini suka bikin Luna ga karuan sendiri?!
"Trus yaudaaah jadi gue makin sering kesini sendiri kalo pulang sekolah, kalo gue lagi masalah sama bokap, yah padahal disini banyak banget momen-momen sama bokap yang justru ngebuat gue kangen sama dia yang dulu. Hahaha gue cengeng banget ya? Tapi serius gue kaya butuh sosok yang bisa bener-bener ngeyakinin gue kalo masalah yang lagi gue hadapin ini pasti bakal berlalu cepat atau lambat."
Satu hal yang baru Luna sadari saat itu, dibalik sosok Dias yang selalu konyol ada juga sosoknya yang merasa bahwa terkadang dia ga kuat buat ngejalanin hidupnya kalo dia ga berpegangan pada sesuatu.
"I don't know Lun, since the first time I saw you I feel like gue punya orang buat berpegangan lagi. Gue selama ini ngerasa kalau gue cuma lari dan terus lari aja karena gue ga tau harus berenti dimana, karena gue takut jatuh lagi. Tapi lo, you are somehow give me strength to survive. Somehow make me sure that I can stand again without afraid to fall, anjir sih Lun sumpah, apalah arti kata-kata tapi gue pengen lo tau kalau gue butuh lo disini. You're more than just someone I want to spend my time with. You're t h a t matter."
Luna berusaha untuk menemukan suaranya namun ia tidak bisa, yang ada mulutnya hanya terbuka lalu terkatup lagi.
"Jangan mangap-mangap sih Lun saking speechless-nya." Sahut Dias.
"Ih! Males gue! Gue tau lu pasti lagi becanda lo ga bisa menipu gue." kata Luna.
"Siapa bilang?" Dias tertawa, "Itu serius kok. Gue seserius itu sampe ngajak lo kesini, this is, what I'm doing right now is, sharing my secret place with you, it's like sharing part of me with you. Aduh anjing cheesy banget sih gue jadi cowo, pasti nih gara-gara deket sama Luna gue jadi menye-menye gini." Kata Dias sambil tertawa lagi.
Tapi Luna hanya diam, tidak memukulnya seperti biasa.
"Lun—"
"Di—" kata mereka berbarengan.
"Hm?" kata keduanya berbarengan lagi, membuat keduanya tertawa.
"Apaan sih HAHAHAH. Aduh gue terharu banget ini sampe bercucuran air mata, thanks ya Di, udah ngeliat gue kaya gitu." Kata Luna sambil pura-pura mengelap air matanya.
"Apaansih ibu Negara!!" kata Dias sambil meraup kepala Luna dan menenggelamkannya di dadanya, hampir seperti memeluknya.
"Aduh! Gajadi makasih ah kalo disiksa gini!" teriak Luna, berusaha menetralisir kekagetannya.
"Gaaa gue yang makasih, makasih Lun udah ada disini, thanks for being si nyebelin yang mau gue gangguin terus." Kata Dias, yang kini Luna yakin, memang benar-benar memeluknya.
Dan kala itu, Luna ingin mengingatnya. Dia, Dias, dan setengah senja milik mereka berdua.
Setidaknya begitu, setengah senja terbaik versi Luna 6 bulan lalu, setidaknya 6 bulan lalu masih terasa begitu baik.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemeral.
Ficção Adolescentee·phem·er·al /əˈfem(ə)rəl/ adjective 1. lasting for a very short time.