CHOICE #13

1.5K 67 0
                                    

If I could take away the pain, and put a smile on your face...

Baby, I would.

Baby, I would. - Justin Bieber, I Would.

Justin McCann.

           TOLOL! Aku kembali merutukki diriku sendiri saat aku membalas perlakuan Celia yang benar-benar kurang ajar tadi, sialan kenapa aku malah terpikat dengan rayuan wanita picik itu tadi?! Aku memukul kemudi stirku dan mempercepat laju kendaraanku untuk sampai ke apartemenku, aku mengantar Celia terlebih dahulu. Bodohnya aku malah memikirkan gadis yang notabena mantan kekasihku daripada istriku sendiri.

           Sial, aku tidak mau Annie menangis seperti tadi, Gosh. Perasaan bersalah menghantuiku, aku merasakan sesak yang luar biasa saat melihat air matanya tadi. Aku melemparkan kunci mobilku ke security yang akan menangani parkir dan langsung masuk kedalam apartemen, naik kelantai tiga dan membuka pintu langsung, tanpa mengetuknya terlebih dahulu.

           "Annie!" pekikku sambil mencarinya, sialnya apartemen ini kosong. Tidak ada orang didalamnya, di balkon kamar mandi dan dapur sekalipun Annie tidak berada disini.

Aku mendesah berat, dia pasti kecewa terhadapku. Aku merasakan panik yang luarbiasa, dimana dirinya berada? Ini hampir pukul sebelas malam. Ck, Annie kumohon kau dimana? Aku mengambil ponselku dan mendial nomornya, tidak aktif. SIALAN! Aku memaki ponselku sendiri dan langsung bergegas keluar namun belum jauh dari pintu Apartemenku aku melihat Annie berjalan gontai dengan malas-malasan dengan wajah yang menunduk. 

           Aku mendesah lega, dia tidak apa-apa. Aku hendak menghampirinya namun saat itu juga matanya bertemu dengan mataku. Dia menatapku kosong dan terdiam, tetap berjalan namun mengabaikanku.

Please Ann, lebih baik kau maki aku sekarang juga. Itu lebih baik daripada dia mendiamiku dan menungguku untuk memberi penjelasan. Aku melihatnya mendesah berat dan langsung membuka pintu apartemen melewati tubuhku seolah-olah aku tidak ada.

           "Annie..." ujarku memanggil namanya, dia terdiam dan terlihat melepaskan tas nya dan meletakkannya diatas meja ruang tengah lalu beralih untuk mengambil air putih didapur. Aku memperhatikannya, menunggunya berbicara namun dugaanku salah dia hanya diam. Ini benar-benar menyiksaku.

           "Annie, maafkan aku." ujarku dengan rasa bersalah, dia menatapku sejenak dengan pandangan kosong dan bergerak kearah kamar.

           "Jika kau belum makan malam, sebaiknya kau pesan makanan diluar atau pergi keluar untuk mencari makan, aku lelah." jelasnya lalu menutup pintu kamar, Annie marah. Annie marah tapi dia menyembunyikannya, Annie marah tapi dia lebih memilih diam dan membuatku tersiksa sendiri. Annie marah, tapi dia bersabar dan tidak melakukan apapun selain diam. Ini membuatku sedikit kagum terhadapnya, bagaimana bisa dia mengumpulkan kekuatan untuk mengatur emosinya dengan baik? Meskipun dia tidak memakiku, tapi dia berhasil membuatku sakit. Benar-benar sakit, sesak.

           Dia menyadarkanku dengan caranya sendiri, membuatku merasa bersalah dengan caranya sendiri. Aku benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Karena yang aku tahu bahwa aku menyukainya, lebih dari apapun. Aku menghormatinya sebagai istriku, aku menyanyanginya, aku bertanggung jawab atasnya. Dan sepertinya aku mulai mencintainya, semua yang ada pada dirinya.

           Awalnya aku mengira bahwa dia akan menjadi beban untuk hidupku, nyatanya tidak. Dia sama sekali tidak pernah melarangku untuk berbuat apapun, dia membebaskanku tapi tetap mengontrolku, dia memberikan perhatian penuh namun tetap terkendali dan tidak berlebihan, dia menyanyangiku dan mencintaiku dengan tulus, dia tidak mengekangku. Aku benar-benar takut sekarang.

CHOICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang