Him (Smile)

281 16 0
                                    

Aku melangkahkan kakiku menyusuri lorong kampus yang sepi ini. Sial... Harusnya aku tak usah memaksakan diri untuk nekat pulang larut demi wifi gratis untuk tugasku. Huh... Jangan kalian pikir aku takut hantu atau semacamnya ya. Ini memang sudah larut, tapi ayolah... mana ada hantu nongol pukul 10 malam? Harusnya kan 2 jam lagi. Kampus memang sudah sepi sejak beberapa jam lalu. Anak klub basket yang biasanya latihan di lapangan ujung sana pun sudah mulai berkemas sejak beberapa waktu lalu. Aku baik-baik saja saat aku kira aku sendirian di kampus. Sungguh lebih baik daripada aku sekarang, disini, berjalan dengan super cepat. Kalian tahu kenapa? Dia. Laki-laki menyebalkan itu mengikutiku. Maunya apa sih laki-laki sinting itu. Oke, aku tak mau terlihat jahat dengan mengatai anak orang dengan sebutan sinting. Bagaimana kalau kalian panggil saja dia Jungkook. Laki-laki menyebalkan, tak ubahnya permen karet yang hobinya menempel.

"(Y/N)...."

Tuh kan dia memanggilku lagi. Huh... Dengan berat hati aku menghentikan acara kaburku ini. Padahal aku pikir aku bisa kabur lebih cepat.

"Hai..." Ya...Ya.. Ya... Lihatlah senyum kelinci bodohnya itu. Sadar nggak sih dia kalau itu menyebalkan untukku.

Aku membuang napasku kasar. Sungguh ini adalah reaksi paling alamiah kala aku berhadapan dengannya. Sepersekian detik aku diam sebelum lelaki itu bersuara lagi.

"Baru mau puang?" Pertanyaan retoris. Memangnya dia lihat aku sedang apa.

"Aku tadi tertidur di sana. Hehehe.... Mau pulang bersamaku?" Alasan super bodoh, bagaimana dia bisa ketiduran di sana. Dan... Soal tawarannya, apa dia tidak bosan menerima penolakanku?

"Enggak. Aku pulang sendiri aja" Aku bergegas berbalik dan meninggalkan lelaki menyebalkan itu.

Hei kalian lihat kan? Dia menyebalkan. Bahkan dia mengikutiku sekarang. Ah... Abaikan saja.

Jeon menyebalkan Jungkook itu sekarang sedang berdiri di sampingku, di halte depan kampus kami. Ingin rasanya aku sembur dia. Tidakkah dia peka terhadap sikapku yang selalu menghindarinya? Sungguh aku merasa teramat sangat terganggu olehnya.

Oke... Oke... ini tidak beralasan memang. Aku hanya tidak suka dengannya yang selalu ada di sekitarku. Aku tidak suka dia yang selalu tersenyum 'kelinci' kepadaku. Aku tidak suka dia yang selalu tertidur di depan perpustakaan hanya untuk menungguku pulang bersama. Itu semua menyebalkan, sungguh. Rasanya risih saja.

Kenapa harus aku sih? Kenapa dia tidak tersenyum manis kepada Minji, si ketua klub tari itu. Kenapa dia tidak menunggu Jenny saja untuk pulang bersama, bukankah Jenny selalu berharap diantar pulang oleh Jungkook? Kenapa harus aku? Dan itu pasti akan membuat Jessy menggodaku besok.

Sialnya, kenapa sih Jessy selalu tahu apa yang Jungkook lakukan terhadapku. Dia ini mata-mata atau memang Jungkook yang terlalu 'ember' bercerita semuanya pada Jessy? Yang jelas aku benci itu semua.

Mataku tertuju pada bus yang baru saja berhenti di depanku. Aku bergegas meraih pintu yang baru saja terbuka, dan berjalan terburu menuju salah satu kursi yang berada di belakang. Lengang. Terang saja, ini sudah larut malam kan.

Aku melirik sekilas ke luar jendela. Sejenak untuk memastikan apakah Jungkook yang tadi memaksa menemaniku menunggu bus masih di sana. Kosong. Sama sekali tak ada seorangpun di halte tadi. Hingga bus yang ku tumpangi pun melaju, aku masih tak menemukan sosoknya. Huh... peduli amat.

Kuambil earphone di saku tasku, kusenderkan punggungku dikursi bus yang nyaman. Tapi lagi-lagi ada yang mengganggu penglihatanku. Dia. Lelaki bergigi kelinci itu tengah tersenyum tepat di tengah-tengah bus. Sial, sejak kapan dia ikut naik bus ini. Bukankah tadi pagi dia ke kampus naik motornya? Aku mencoba mengabaikannya dan kuputuskan untuk memasang earphon ke telingaku. Aku memalingkan pandanganku, kemanapun asalkankan aku tak melihatnya. Aku tahu kok dia sedang memperhatikanku dari kursi yang ada di seberang kursiku. Darahku mendidih, sebenarnya aku ingin sekali memakinya. Tapi aku bisa dibunuh Jessy jika melakukan itu terhadap temannya ini. Kenapa sih Jessy harus berteman dengan si menyebalkan Jungkook ini. Kenapa juga waktu itu Jessy mengenalkannya padaku. Harusnya aku tidak usah berkenalan dengannya. Harusnya kami tidak pernah bertemu. Harusnya dia tidak usah mengenalku. Harusnya dia tidak usah tersenyum kepadaku. Harusnya dia tidak usah menungguku pulang setiap hari. Jungkook... Aku benci padamu.

Aku masih tak bergeming, masih merutuki pertemuanku dengan lelaki di seberangku itu. Dia baik, dia manis, dan dia perhatian. Tapi sungguh itu menggangguku. Apalagi sejak Jessy bilang.

"Kayaknya Jungkook suka kamu deh" Kata Jessy sewaktu aku akhirnya mengatakan betapa aku begitu terganggu dengan kehadiran Jungkook.

Sejak itu aku merasa Jungkook adalah makhluk yang harus untuk aku hindari.

Aku terhenyak ketika melihat toko bunga di samping komplek rumahku. Itu berarti aku harus bersiap untuk turun. Hei... kenapa Jungkook ikut berdiri? Apa dia juga mau turun di sini? Dia pindah rumah di sekitar sini? Tuh kan, menyebalkan. Terserah.

Aku turun dengan terburu, tak rela bahkan jika jarakkku dengan Jungkook hanya terpaut sekian jengkal.

Langkahku terasa ringan kala memasuki gerbang komplek rumahku. Tidak mungkin kan Jungkook masih mengikutiku? Oke aku salah, lelaki menyebalkan itu masih saja berjalan bersamaku bahkan dia dengan kurang ajarnya menyamai langkahku.

"Komplek rumahmu sudah sepi ya jam segini?" Tanyanya basa-basi. Tentu saja aku masih tak bergeming. Hingga kini aku sampai di depan rumahku. Aku berbalik, kudapati senyumnya makin mengembang. Apa pipinya tidak kram terus-terusan mengumbar senyum seperti itu?

"Ini udah malem. Kamu nggak niat mau mampir kan?" Aku menekankan setiap kata-kata yang keluar dari mulutku.

"Enggak kok. Cuman mau mastiin aja kamu sampai rumah dengan selamat" Dia masih tersenyum menyebalkan.

Aku sedikit terhenyak saat dia mengatakan kalimat terakhirnya tadi. Benarkah dia hanya ingin mengantarku pulang?

"Sekarang aku cuman bisa nganter kamu pulang buat mastiin kamu sampai dengan selamat" Dia menjeda kalimatnya, mengambil nafasnya sejenak dan menghembuskannya pelan.

"Tapi aku harap suatu hari nanti, segera, kita akan pulang ke alamat rumah yang sama. Aku berharap aku bisa jadi tempat kamu untuk pulang. Segera, suatu saat nanti" Kulihat bibirnya mengukir senyum tipis. Matanya menatapku dalam. Aku benci dia mengatakan itu, tapi jujur saja ada gelenyer aneh di dadaku yang membuat sesuatu yang berdetak disana terus berdesir memompa darah ke seluruh tubuhku. Matanya terus menatapku, seiring lengkungan di bibirnya yang makin tertarik ke atas. Seoah menghipnotisku, tanpa kusadari lengkungan itu juga terukir tipis di bibirku.

FF Imagine Absurd (With BTS?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang