First (Pain)

171 19 9
                                    

Aku menarik nafasku dalam, masih dalam pikiranku yang kalut dan takut. Ayah marah besar kala mendapatiku bolos les tadi sore. Aku.... Aku takut. Sungguh ayah tak pernah semarah ini sebelumnya padaku. Selepas makan malam tak ada suara ayah yang mengajakku ngobrol, ibu pun tak datang malam ini untuk sekedar mengecek aku yang tengah belajar. Semarah itukah mereka padaku? Ibu... Ayah... Maafkan aku.

Kak Jimin, apakabarnya dia ya? Sejak tadi ayah mendapati kami tengah menonton pertunjukan jalanan, dan meninggalkan les kami, aku tak berani bahkan untuk sekedar menoleh padanya. Lututku lemas kala kudapati pandangan tajam ayah mengarah pada kami. Refleks tungkaiku mengayun mendekat ke ayah dan meninggalkan kak Jimin begitu saja. Bahkan aku tak sempat menanggapi kata-kata terakhirnya tadi.

"Oh... Ayahmu datang"



Sudah tiga hari ini aku tak menjumpai kak Jimin di tempat les. Apa dia baik-baik saja? Apa karna ayah waktu itu? Karna aku yang meninggalkannya begitu saja? Dia marah padaku? Pikiranku masih tak mau lepas dari kak Jimin. Sedang apa dia sekarang, dimana dia sekarang, kenapa dia tak datang les dua hari terakhir?

Aku tak tahu apa yang sedang aku rasakan, tapi rasanya aku... Aku tak bisa berhenti memikirkan kak Jimin.

"Sayang... Kamu bisa membuat telurnya gosong?" Teguran ibu barusan membuyarkan lamunanku. Aku melihat ke depanku, wajan yang agak mengepul karna suhu yang sangat panas dan sebuah telur dadar yang warnanya sudah sangat coklat. Buru-buru kutiriskan sebelum semakin parah.

"Kamu baik-baik saja?" Tanya ibu sedikit khawatir. Ada rasa lega di dadaku karna berangsur ibu sudah bersikap biasa lagi terhadapku, seperti ibu yang dulu. Namun ayah, beliau masih sedikit kaku terkait insiden aku ketahuan membolos dengan kak Jimin kala itu.

"Ya bu. I'm ok?"

PRANG.......

"Aw...." Pekikku kala rasa perih menjalar di tungkaiku. Piring berisi telur dadarku jatuh dan mengenai kakiku. Perih.... Daerah sekitar mata kakiku terkena sedikit percikan minyak panas dari wajan yang barusan tersenggol lenganku. Tidak banyak, tapi sedikit percikan saja sudah membuat beberapa bintik melepuh di kulitku.

"Aw...." Pekikku lagi-lagi kala aku tak sengaja menginjak serpihan pecahan piring yang tadi aku jatuhkan. Bagus.... Lengkap sudah semuanya.

"Yaampun...." Teriak ibu panik kala mendapati keadaanku. Sesegera ia meninggalkan tatanan piring di meja makan dan menghampiriku. Kulihat ayah yang tadi sedang memirsa televisi pun bergegas menghampiriku dan ibu.

Aku merasakan rengkuhan hangan lengan ayah pada pundakku, menuntunku untuk menuju kursi makan di sampingku.



"Apakah jatuh cinta seperti ini?" Gumamku bermonolog ria. Aku menatap langit kamarku yang sunyi. Malam ini aku berada sendirian di rumah. Ayah dan ibu pergi ke acara rekan kerja ibu. Kalau saja kakiku tidak diperban mungkin aku bisa ikut mereka. Setidaknya aku tidak usah sendirian meringis menahan perih di kakiku ini. Aneh ya, padahal menurutku aku sedang jatuh cinta. Dengan kak Jimin tentunya. Tapi bukannya bunga-bunga yang aku rasa di hatiku, namun rasa perih di kakiku yang aku rasakan.

Pikirku mulai melayang pada sosok kak Jimin lagi. Sosok yang beberapa waktu belakangan ini betah mengisi benakku. Sosok yang selalu aku tanyakan dalam benakku apa yang dia lakukan saat ini. Aku... Rindu pada kak Jimin. Sudah 4 hari kami tak bertemu.

Tuk....

Tuk...

Aku mengubah posisiku menjadi duduk di atas ranjang. Mencoba memasang indera pendengaranku dengan baik. Barusan aku seperti mendengar... Suara. Siapa ya?

FF Imagine Absurd (With BTS?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang