Chapter 2

579 62 3
                                    

"Jadi intinya, indifference curve adalah kurva yang-" penjelasanku terpotong oleh sebuah suara yang sangat mengganggu. Aku menoleh dan melihat Taehyung tertidur dengan kepalanya bertumpu di meja belajarku, mendengkur.

"Aish, anak ini." kulihat jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, dan aku pun sudah mulai mengantuk. Namun Taehyung sama sekali belum menyelesaikan tugasnya karena dia selalu protes mengatakan bahwa penjelasanku terlalu rumit.

Entah apa yang merasukiku, aku mendadak merasa kasihan padanya. Aku membuka buku tugas Taehyung dan mulai menyalin jawabanku ke bukunya. 'Kau harus membayarnya nanti, huh.' gumamku.

Aku sedang sibuk menyalin jawaban ke buku tugasnya, ketika ia tiba-tiba terbangun dan tersenyum ke arahku, "Wah, Lee Jihyun, sekarang kau sudah mengerti tugasmu tanpa aku harus memintanya, ya." ucapnya bangga. Sialan, kenapa aku harus berpikir untuk kasihan padanya. Anak ini benar-benar tidak tahu diri.

Aku memutar bola mataku jengah dan melemparkan buku tugasnya ke wajahnya. Bukannya kesakitan, manusia itu justru terkekeh geli. Oh, mungkin dia bukan manusia.

"Lanjutkan sendiri. Aku ngantuk, cepat sana pulang. Ini sudah malam." Aku beranjak ke kasur dan duduk disana, menunggu Taehyung keluar. Taehyung yang masih tertawa segera keluar dari kamarku dan perlahan suara menyebalkannya itu tidak terdengar lagi.

**

Pagi itu, aku terbangun oleh suara teriakan dari ruang makan. Ugh, pasti Ayah dan Ibuku bertengkar lagi. Sebenarnya apa sih yang mereka ributkan?

Aku berusaha bangun dari tempat tidurku, namun kepalaku terasa sedikit pusing. Segera kucari obat pusing di kotak obatku, tapi yang ada hanya satu strip obat yang sudah kosong. Oh sial, aku kehabisan obat lagi.

Ibuku biasanya menyimpan obat pusing di kotak obat di kamarnya, namun aku sedang tidak ingin terlibat dengan keributan yang terjadi di bawah, jadi aku memilih opsi lain. Mungkin Taehyung? Yah, semoga dia adalah opsi lain yang aku harapkan.

Aku segera meraih ponsel di nakas dan mengirimkan pesan pada si bodoh itu.

Jihyun: Taehyung-ah, kau sudah bangun?

Tak butuh waktu lama, aku langsung mendapat balasan dari Taehyung.

Kim bodoh Taehyung: Eo. Ada apa, anak cengeng?

Kim bodoh Taehyung: Kau mau membuatkanku sarapan? Baguslah, aku lapar. Lebih baik kau cepat sebelum aku mati kelaparan.

Aku mendengus. Kenapa si bodoh itu tidak bisa tidak menyebalkan untuk sekali saja, sih? Aku tidak ingin berdebat lama-lama karena pusing di kepalaku sudah tak tertahankan, dan mungkin, aku bisa membawakannya roti. Itu tidak sulit. Yang penting aku dapat obatku.

Jihyun: Sebenarnya, tidak. Aku tidak menghubungimu untuk membuatkanmu sarapan. Tapi, baiklah. Kau bisa mendapatkannya, tapi beri aku obat pusing?

Kim bodoh Taehyung: Oh, jadi kau sedang sakit. Apa kau menangis lagi? Kkk~ bercanda. Datang kerumahku bawa makanan, dan aku akan memberikanmu obat yang kau mau.

Aku tidak membalas lagi pesannya yang terakhir. Sejujurnya kepalaku sudah tidak kuat berkompromi dengan layar ponsel, rasanya mual berlama-lama menatap layar kotak itu. Aku segera bersiap-siap untuk sekolah, dan melesat keluar dari kamarku. Suara teriakan tadi sudah tidak terdengar, berganti dengan keheningan. Kurasa orang tuaku sudah berangkat ke kantor.

Aku berjalan sedikit sempoyongan ke dapur dan menyiapkan beberapa lembar roti untuk Taehyung. Lagi-lagi, aku harus melakukan ini untuk anak menyebalkan itu. Nasibku benar-benar buruk.

Alien Next Door [KTH]Where stories live. Discover now