Dengan topi hitam yang menutupi kepala Rafi dari sinar matahari yang begitu terik di siang hari ini, lelaki ini terus mencari keberadaan Rahel. Ini sudah lima belas menit dan dia sama sekali masih belum menemukan sosok Rahel. Sebenarnya, ini adalah perbuatan yang sia-sia karena dirinya sendiri juga tidak tahu di mana sebenarnya Rahel tinggal. Terlebih lagi ini adalah kompleks kecil di mana orang-orang yang keluar rumah pada siang hari itu sangatlah sedikit. Jadi, Rafi sendiri juga tidak bisa bertanya pada orang lain tentang keberadaan perempuan itu.
Sampai akhirnya seseorang mulai menampakkan dirinya di balik pepohonan. Tanpa disadari, Rafi langsung tersenyum lebar. Dengan cepat ia menyeberang dan berjalan menuju Rahel yang tampak belum menyadari kehadirannya.
"Hai!" sapanya dari belakang. Hal ini lantas membuat Rahel terlonjak kaget dan kantong sampah yang mau ia buang itu kini jatuh dan isinya berserakan semua di lantai.
Senyum Rafi langsung pudar dan kini digantikan dengan raut wajah bersalah. Sambil berjongkok, ia langsung membantu Rahel memunguti sampah-sampah yang berserakan di lantai.
Terdapat banyak sekali kaleng bir di sana, seketika Rafi langsung teringat akan cerita Rahel kemarin. Itu berarti perempuan ini tidak berbohong mengenai papanya yang selalu mabuk-mabukkan. Rafi memilih untuk tidak mengungkit masalah itu lagi, karena dia tahu bahwa hal itu dapat membuat Rahel menjadi sedih. Jadi, dia memutuskan untuk diam saja.
"Omong-omong, kenapa lo bisa ada di sini? Dan kenapa lo bisa tahu rumah gue?" Rahel bertanya sambil menatap Rafi sekilas, lalu tatapannya kembali tertuju pada sampah-sampah yang sedang ia pungut.
"Oh, iya. Ini." Rafi sedikit berdiri, mengambil selembar uang lima puluh ribu rupiah, lalu memberikannya pada Rahel.
"Oh, nggak usah. Lagian, kemarin lo juga udah biarin gue numpang di rumah lo, kan? Gue anggap udah lunas deh." Rahel tersenyum tipis. Tapi, tetap saja Rafi masih merasa tidak enak hati.
"Udah, terima aja. Hati gue jadi nggak enak nantinya. Terima, ya?" Rafi menatap Rahel dengan tatapan penuh harap, mau tidak mau akhirnya Rahel menerima uang itu.
"Ya udah deh, gue terima. Tapi lo belum jawab pertanyaan gue tadi, kenapa lo bisa tahu rumah gue?" tanya Rahel penasaran.
"Gue cari-cari aja, terus kebetulan banget lo lagi keluar," jawab Rafi sambil cengengesan.
"Pasti susah banget, ya, carinya?" tanya Rahel pelan, merasa tidak enak hati karena membiarkan Rafi demi-demi ke rumahnya hanya untuk membayarnya.
"Ah, nggak kok." Rafi mengibaskan tangannya dengan santai.
"Rahelll! Di mana kamu?" Mendengar namanya dipanggil, buru-buru Rahel memasukkan kembali semua sampah itu ke dalam kantong plastik dan segera membuangnya ke dalam tong sampah.
"Gue masuk dulu, ya. Sori, gue nggak bisa undang lo masuk. Seperti yang gue bilang kemarin, jadi... ya, gitu. Oh iya, makasih." Sambil tersenyum, Rahel buru-buru masuk ke dalam rumahnya.
Tapi sebelum Rahel benar-benar masuk ke dalam rumahnya, Rafi meminta id Line perempuan itu, supaya kalau ia membutuhkan bantuan apa-apa, Rafi bisa membantunya. Entah apa yang membuat Rafi berbuat demikian. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya melihat sikap papanya yang seperti itu. Ya, Rafi memang selalu seperti ini. Selalu baik terhadap semua orang. Bahkan orang yang baru dikenalnya sekali pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Braver
Teen Fiction>> SPIN-OFF GOOD OR BAD? << Siapa sangka karena tindakan kepahlawanan yang Rafi dapat itu, membuat dirinya harus terjebak bersama dengan orang yang menolongnya. Saat itu, Rafi tidak memikirkan dampak yang akan terjadi saat dia berbaik hati dengan m...